Monday, September 01, 2008

Aku, Bahasa Jepang dan Dunia Terjemahan (2)


Hi Friends, bosan nggak sih baca isi tulisanku. Sebelumnya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini nggak ada unsur/niat sombong loh ya...hanya memenuhi request dari sahabat baru tersayang (duuuhh...sampe segitunya). Mudah-mudahan emang ada manfaatnya buat kita semua.

**********************************

Menyambung cerita sebelumnya, pekerjaan baruku di dunia penerjemahan ternyata menjadi pintu doraemon khusus bagiku. Lewat pintu doraemon ini aku jadi bisa keliling Jepang 'haratis!, bisa bertemu dengan banyak orang, bisa mengenal banyak hal, dan yang lebih kental terasa adalah rasa PD-ku jadi meningkat. PD not means sombong loh ya, tapi yang kumaksud adalah 'bisa karena biasa'. Berkat seringnya kerja nge-guide ini aku jadi tau persiapan apa yang harus kulakukan sebelum terjun ke lapangan.

Sekarang aku bicara dulu soal persiapan khusus itu ya. Kalo lagi mendapat kerja 'cuap-cuap', biasanya aku meeting dulu ama client. Yang dimeeting-in (ih penerjemah kok bahasanya gini ya.... ) itu biasanya:
1. Siapa calon tamu saya.
2. Asal dari mana, tujuannya apa.
3. Mau dibawa kemana selama tour nanti.
4. Dapat budget brapa nih....(jangan pura-pura nggak butuh deh...)

Dari 4 item itu aku biasanya akan melakukan study lanjutan sendiri. Mencari info soal calon tamu lewat internet (mata-mata dikit boleh kan yaaa...). Ini biasanya aku lakukan ketika tamuku dulu adalah: perusahaan besar seperti PT. Djarum, PT. Toyota Indonesia, PT. Mitshubishi, dst. Setidaknya aku nggak buta banget mengenai produk mereka, jadi bisa nyambung kalo ngobrol atau sapa tau mereka malah nguji aku.
Aku juga biasa membeli majalah-majalah wisata, misalnya kota Kyoto, Osaka atau tujuan wisata nanti. Majalah-majalah itu bisa dibeli di toko buku setempat. Nggak perlu harus terbang ke kotanya...cukup melangkah ke toko buku besar dan ngerogoh saku buat modalin diri sendiri. Mungkin ini termasuk cara menuju profesionalitas?. Kaliii...bagiku ini adalah hal yang 'atarimae 当たり前/seharusnya' dilakukan oleh seorang guide amatir kayak aku.
Hal lainnya yang aku (pernah) aku kerjakan adalah: pre-tour sendirian (kalo ini dalam kota ya!), liat jalur transportasinya (ini kalo lagi ngeguide anak-anak SMP tadi), cek lokasi, cek harga masuk, cek makanan dan tempat sholat (ini kalo lagi ngeguide tamu dari Indonesia) dst.
Selebihnya latihan jadi guide di kamar...hihihih. Pura-pura jadi guide, pura-pura megang mic, lalu cuap-cuap sambil ngintip hasil corat-coret tentang lokasi wisata yang akan dituju.
Dulu, aku pernah bekerja untuk sebuah travel, namanya Palm Travel di Kyoto. Yang punya suami istri campuran Jepang dan Australia. Big-bossnya si wanita Jepang, cerewetnya minta ampun deh!. Tipikal prefeksionis yang super duper galak dan bikin mundur calon penerjemah/guide. Giliran aku diwawancarai, rasanya tulang-tulangku menggigil. Orangnya to the point banget, dah gitu pake tes pura-pura jadi guide. Mesti ngomong apa, yang diomongin bener atau cuma ngarang...dst...pokoknya yang nggak kuat mental jadi mental deh...(hehehe).
Aku lolos karena mungkin pengalaman ngeguide anak-anak SMP tadi jadi nilai plus dimatanya. Lagipula memori di otakku tentang Kyoto masih bagus, jadi kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku seperti air mengalir. Nggak dibuat-buat, paling-paling kalo lupa aku bilang: maaf aku lupa. Misalnya, berapa tinggi menara Kyoto Tower, dst.
Si m-punya travel malah tepuk tangan habis ngeinterview aku. Trus dia ngomong-ngomong keras-keras ke staffnya: kalian harus tiru dia!. . Maka jadilah aku dihire secara free-lance.
Prinsipku dalam bekerja (dalam hal ini sebagai penerjemah cuap-cuap) adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Aku tidak perduli dengan berapa aku akan dapat bayaran. Mau kecil mau besar harus tetap menjaga kualitas. Itu ajah kuncinya. Supaya langganan bertambah dan aku tetap langgeng dipake. Biasanya selalu ada evaluasi akhir kerja. Apakah layanan kita memuaskan?, apa ada komplain dari tamu?, dst.

Dari pengalamanku di lapangan, ternyata mengguide turis dari Indonesia itu banyak kenangan lucunya. Sebenarnya pengen nulis: membuat geleng-geleng kepala, tapi ntar yang baca hanya dapat sisi negatifnya ya...padahal setiap orang berhak menilai itu sisi negatif atau positif bangsa kita.
Yang aku maksud tuh gini, dari sekian banyak mengguide mereka ada benang merah yang bisa aku tarik:
1. Orang kita senangnya diajak jalan-jalan ke down town. Mereka nggak tertarik dengan lokasi wisata seperti otera/shrine/temple. Mungkin ini ada kaitannya dengan setiap orang di Indonesia sudah memiliki agama yang tetap, jadi nggak tertarik dengan hal-hal di luar itu.
Pernah suatu kali aku nge-guide grup tour dari Mitshubishi ke Heian Jingu-Kyoto. Aku dah hafal 100% tentang tempat ini. Bahkan cerita-cerita menarik dari tempat ini sudah aku siapkan. Ternyata dari ke 35 orang yang jadi tanggung jawabku hanya 1,2 orang yang serius mendengarkan. Mereka ini beragama Budha. Ketika aku tunjuk sebuah patung yakni Dewa Rejeki, mereka langsung mengelus-ngelus kepala botak patung dewa tadi. Dan berdoa di depannya. Sedangkan member lain, malah asyiikk ngobrol bisnis mobil mereka!....
Begitu di ajak ke down town, liat mesin-mesin foto di game center, semuanya baru pada interest-heboh banget deh, malah kayak kuper gitu...hiihihih. Padahal mereka dah bapak-bapak dan ibu-ibu loh!. Rata-rata berusia 45 tahunan. Malah ada satu nenek yang juga sibuk berpurikura dengan anaknya, belom lagi yang lain sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Sampai-sampai aku kewalahan mengumpulkan mereka.Halah......kok gampangan ngatur wisatawan cilik yak!
2. Tidak terlalu disiplin. Ini yang selalu bikin aku pegel kalo lagi ngeguide. Dan entah kenapa ini berlaku untuk semua jenis tamu. Nggak tamu yang berpendidikan tinggi (level Direktur, PresDir), tamu yang dah lalu lalang ke LN, atau tamu yang baru bersentuhan ama dunia luar selain Indonesia.
Perbandingannya, kalo aku ngeguide anak-anak SMP/SMA mereka mau nurut kalo diberitahu. Tapi kalo dari bangsaku sendiri kok ya suliiit deh. Mungkin turis dari Indonesia kebanyakan senang ketemu aku, guide yang sesama orang Indonesia. Jadinya malah banyak curhat ini itu. Malah ngorek-ngorek brita buruk seputar orang Jepang. Trus nggak nganggap aku ini guide yang mesti didengar omongannya.
Biasanya yang aku sampaikan hal-hal kecil, misalnya kalo ke kamar mandi/tempat lain harus seijin guide, tapi selalu adaaa aja yang tiba-tiba ngilang. Nggak taunya lagi blanja!. Akibatnya membuat schedule secara keseluruhan menjadi sedikit brantakan.
3. Tidak menjaga kebersihan. Biasanya main buang ajah di jalan, dan ini harus sering diingatkan. Ada satu kejadian yang bikin aku shock!. Seorang PresDir PT.anu pernah enak aja buang sampah plastik bekas es-krimnya.
Waktu itu aku dan rombongan tamu lagi ngantri untuk naik sebuah aktraksi. Sebelum sempat aku mengambil sampah yang dibuangnya, salah seorang tamu cilik-cucu si PresDir bilang gini: Kek, sampah harus dibuang ke situ--menunjuk tong sampah. Si kakek cuma bilang: halah nggak apa-apa, ini diluar negeri kok!. Ucapan si kakek ditimpali dengan tawa ringan dari kaki tanganya....uuuhhhhh bikin telingaku merah!. Tau nggak apa yang dilakukan si cucu?. Dia tetap mengambil sampah buangan kakeknya itu lalu dimasukkan ke tong sampah. Erai!(hebat).
4. Perbedaan ekonomi yang jelas banget. Aku ngerasa banget gimana kayanya seorang tamu, walaupun dia dari Indonesia yang terhitung negara berkembang. Yang di sana sini masih penuh gelandangan, masih banyak anak-anak terlantar yang meminta-minta dijalanan. Si tamu ku itu malah punya heli-pat (?) --itu loh lapangan helikopter di rumahnya. Rumahnya itu di wilayah Jawa, itu bocoran dari clientku.
Ada lagi cerita menarik. Sebuah PT. A yang berlokasi di Jepang mengundang PresDIr dari PT. A juga (tapi yang di Indonesia). Nah sangking kayaknya si bos dari Indonesia ini, PT. A Jepang nggak sanggup bayarin paket tur si bos. Akhirnya cuma sebagian dari rencana tur itu dibiayai oleh pihak Jepang.
Suatu kali aku mesti bantu cek-in keluarga bos dari Indonesia ini. Nginepnya di hotel bintang satu Osaka. Harga permalamnya ammpuuunn deh!. Aku kebagian satu kamar bo!. Tapi ketika pembayaran, pihak Jepang minta aku menyampaikan kepada si bos, bahwa yang bayar adalah pihak Indonesia. Duuuh gimana nih nyampeinnya?, pikirku. Tapi akhirnya aku mencoba menyampaikan apa adanya. Lalu dengan santai si bos bilang: no problem!. Dari dompetnya keluarlah visa card berwarna emas!. Padahal jumlah rombongan dari Indonesia nggak sedikit loh!...Sugoi ne!(hebat ya).
Tapi ada juga tipe tamu dari Indonesia yang pas-pasan...hehehehe. Kayak langit ama bumi deh.
Masih banyak duka lain yang pernah kualami. Tapi senengnya juga banyak loh. Critanya di stop dulu....kepanjangan...........

1 comment:

Anonymous said...

teh Opi,
genki (deshoune...:))

kasi aku kerjaan terjemahan dounks....:)


(endang-ibunya sophia)