Thursday, April 11, 2013

BICARA TENTANG UANG, BERARTI BICARA TENTANG KEPERCAYAAN (part-2)

Aku terusin cerita tentang pinjam uang dan orang Jepang ya.

Kan dicerita sebelumnya, aku bilang orang Jepang paling anti minjemin uang sama orang lain. Terkadang dengan sesama saudara saja mereka sangat-sangat perhitungan, apalagi sama orang asing. Siape elo?

Pada akhir cerita, aku juga udah kisahkan bahwa aku perlu uang untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat S-2. Karena tidak ada, aku cari-cari. Ketemulah sebuah tempat peminjaman yang memang diperuntukan bagi mahasiswa (tidak mesti orang asing juga, mahasiswa Jepang sekali pun boleh meminjam). Dari situ aku dapat 100,000 yen (= 10 juta rupiah). Dengan kesepakatan, aku harus mengembalikannya dengan cara mencicil 10,000 yen (= 1 juta rupiah) per bulan. Alhamdulillah amanah itu aku pegang teguh. Sesuai waktu yang ditentukan aku berhasil mengembalikannya.

Di sini aku melihat bahwa mereka bisa mempercayaiku. Sayangnya tempat itu sudah ditutup. Jadi sumber pinjam uang legal dan dilindungan Pemkot tidak ada lagi.

Uang DP 100,000 yen tadi sudah kubayarkan. Tetapi masalahnya tidak hanya sampai di situ. Perlu sekitar 300,000 yen (= 30 juta yen), untuk pelunasan biaya kuliah semester pertama.

Adeeeuh, kepalaku pusing lagi.
Entah mengapa aku teringat WDA (wakil dekan) Bidang Pendidikan. Aku ingat betul, ketika tahun 1999 jebol masuk ke Universitas Kyoto Seika di Kyoto, aku dan beberapa mahasiswa asing lainnya disambut oleh WDA ini. Beliau baik sekali.

Rambutnya seperti pelawak legendaris ATENG. Waduh nggak tahu?Kebanyakan nonton Sule sih.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ateng

 Nah WDA itu aku dekati. Aku sekalian curhat. Sebenarnya membicarakan masalah pinjam uang, seperti mimpi di siang bolong. Pasti tidak akan semudah itu. Atau benar-benar tidak masuk akal. Meminjamkan uang sebanyak itu ke mahasiswa asing yang hidupnya bertumpu pada pekerjaan part-time. Tidak ada alasan buatnya meminjamkanku. Yakin deh, YAKIN!

Aku hopeless banget waktu itu. Apalagi setelah curhat tidak punya uang untuk bayar kuliah, beliau juga tidak merespon apa pun. Ya sutralah...

Kutatap bayangan masa depanku yang suram.

Ciiittt...
Tapi, dua minggu kemudian dia memanggilku. Dengan menandatangani kontrak bermaterei, aku dipinjamkan uang sebanyak itu. Aku takjub sekali. Tetapi dia mewanti-wanti.

"ちゃんと返済してね。すこしずつでもいいから、がんばってください。内の家内の許しであなたにお金を貸してあげることができる。”

"Jangan lupa dikembalikan ya. Sedikit demi sedikit juga tidak apa-apa, selalu bersemangat. Saya bisa memberi pinjaman seijin istri saya."

Waaa, aku menangis terharu. Masa depan yang suram itu, langsung cerah seketika. Persis ramalan cuaca.

Berhubung Pak WDA menyebut kata 'seijin istrinya', efeknya memang a little bit menakutkanku. Itu artinya aku harus singsingkan lengan, ngebecak sekali pun pasti kulakoni buat bayar pinjaman itu.

Entah benar atau tidak, tapi ini aku dengar langsung dari pria-pria Jepang, kolegaku. Bahwa, keuangan rumah tangga mereka dipegang oleh istri. Semua gaji harus disetor ke istri, nanti istri yang bagi. Ada istilah 'okozukai' (uang jajan) buat para suami. Para suami diberi uang jajan?

Beneran! Dijatah. Apalagi soal peminjaman uang kepada orang lain ya! Pasti, para istrinya keburu bertanduk dan suuzon duluan deh.

Yang pasti, menurutku bukan berarti para istri jahat. Justru mereka harus putar otak untuk mengatur keuangan antara pengeluaran dan gaji para suami.

Tapi, para suami dapat uang jajan...uh, uh, uh, kek anak kecil aja. Para pria Indonesia mana mau diperlakukan begitu ya.

(bersambung)






No comments: