Thursday, April 18, 2013

Simbiosis mutualisma-antara aku, suamiku dan karir di rumah

Tidak mudah melepaskan atribut sebagai wanita karir.

                    Secretary Using A Telephone In Office Royalty Free Stock Photography - Image: 10745197

"Yang benar saja! Kamu, mau berhenti berkarir? Dijamin mission imposible!" Masih terngiang-ngiang ejekan bersahabat dari beberapa teman di kantor lama. Padahal ejekan itu mencuat tujuh tahun yang lalu.

Dan aku tetap melepaskan mahkota sebagai seorang wanita karir, demi mengikuti sunnah Rasulullah saw menjadi wanita rumahan. Mengurus suami dan buah hati.

                             Mom, Kids And Their Laundry Stock Photography - Image: 48772

Menjadi wanita rumahan, tidak bekerja, tidak berpenghasilan, ternyata beraaat sekali. Di awal-awal berumah tangga, sering sekali kondisi ini jadi pelatuk pemicu pertengkaran. Bukan itu saja, suamiku yang pola kerjanya seperti orang Jepang (nggak weekday nggak weekend harus bekerja). Sedangkan aku? Hanya bengong di rumah. 'Hanya' mengasuh satu bayi yang lahir tahun 2006.

Meski pun akhirnya lahir bayi ke-2, tetap saja masalah tidak bekerja dan tidak berpenghasilan itu bikin stres hubunganku dan suami.

Akhirnya, aku mulai mendua. Tetapi bukan dengan perjaka atau pun duda. Aku mendua dengan 'pekerjaan'.

                                       Job Hunt Royalty Free Stock Photos - Image: 15761548


Sebenarnya sangat mudah bagiku mendapatkan kembali pekerjaan. Allah swt merahmatiku dengan kemampuan berbahasa Jepang. Tujuh tahun hidup di Jepang, sampai lafal 'R' ku jadi cadel. Benar-benar jadi lidahnya orang Jepang.

Pekerjaan mulai masuk satu per satu. Jaman sekarang canggihnya luar biasa. Dengan satu komputer butut pun, asal ada koneksi internet, bisa bekerja secara online.


                                          Online business deal Stock Photography


Karir sebagai penerjemah bahasa Jepang, telah memudahkan langkahku mendapat kembali rejeki dari jerih payahku sendiri. Tetapi, ternyata di situlah mulai semua adegan demi adegan menegangkan terjadi.

Bekerja di rumah, tadinya kupikir gampang dan mudah diatur. Ternyata, hei hei, ney ney, sulit bo! Apalagi yang berkaitan dengan terjemahan. Ada deadline. Beda dengan pekerjaan rumah tangga yang nggak ada deadline.

Coba deh ingat-ingat. Para emaks dan bapaks, sedang lelapnya tidur, si baby meraung-raung karena pup. Sambil kleyeng-kleyeng ngantuk, kita ganti deh popok yang bau ne! *hihihi.

Jam tidur yang pada dasarnya sudah kurang, makin berkurang dengan pekerjaan sebagai penerjemah. Pernah suatu kali, aku menerima order terjemahan sebesar 25 juta rupiah. Maklum, aku waktu itu masih tinggal di Jepang. Rate per lembar 100 x lipat dari Indonesia.

Tentu saja aku ambil. Mosok ditolak, rugi dong.
Ternyata, ketika mulai berjalan, waktu mengetik itu TIDAK ADA! Baru ngetik satu halaman, bayiku sudah nangis lapar. Terpaksa deh slonjoran sambil memberi ASI. Dan...bablas tidur.

Aduuh rasanya menyesal sekali. Terbuang sudah satu hari pertama. Setiap kali menerjemah, aku biasa pasang target 10 halaman/hari. Tapi, perhitungan itu sebenarnya berlaku ketika aku masih single. Kupikir, target seperti itu masih tetap eksis meski pun sudah berbuntut.

Maka mulailah perjuangan mendapatkan 'waktu' menerjemah dimulai, saudara-saudara.

Tadinya kupikir, bisa membagi waktu dengan baik. Antara mengurus anak, menservis suami dan menerjemah. Tapi ternyata sulit sekali. Wajah kusut, kepala pusing. Rambut jarang tersentuh sisir. Bawaan bete melulu. Sasarannya ya suamiku. Kenapa tidak ada waktu mengurus anak, kan aku harus mengetik, bla...bla...

Target sebulan bisa kelar terjemahan 25 juta itu, ternyata molor plus 1 minggu. Itu karena aku tumbang keseringan bergadang. Biasanya aku mulai memaksa mata melototi si komputer jam 9 atau 10 malam. Waduuh, itu kan waktu paling nikmat untuk meluruskan syaraf-syaraf yang tegang seharian. Ini malah mulai bersenandung ala Rhoma Irama. "Begadang mari begadang-aang..."

                                          Woman Tired Stock Photo - Image: 10958640

Asli, tersiksa banget deh. Klien juga tidak respek, meski pun uang 25 juta itu masuk ke rekening. Ujung-ujungnya tidak ada lagi order yang masuk sejak itu dari si klien. *HIKS

Seiring waktu, anakku juga bertambah lagi. Total sudah 3. Aku pun belajar dewasa. Memilah, mana yang diprioritaskan dan mana yang dinomorduakan. Setelah beranak, terkadang suami saja jadi prioritas nomor dua. Dari bangun tidur, teriakan "Bunda...Bunda, maunya sama Bunda". Sampai menjelang bed-time pun, rebutan Ibu. Itu Bapak kalian nganggur, attaaack! Tetep saja sama Bunda. *Hadeuuh. Ini konsekwensi ibu di rumah loh ya. Anak jadi apet lengket seperti permen karet. Sesuatu yang patut disyukuri.

Akhirnya, aku mengalah. Jam terbang menerjemah diatur ulang. Terkadang banyak yang ditolak. Paling-paling dibuat strategi, bekerja hanya seminggu, tetapi pendapatan sekelas manajer di Jakarta deh. Pasang target minimal 10 juta sebulan. Insha Allah, semuanya bisa diperoleh kalau Allah swt berkehendak.

Sekarang, aku masih tetap mendua. Aku, suamiku, dan si pekerjaan sebagai freelance interpreter/translator bahasa Jepang. Suamiku semakin memberi peluang. Dia sangat mau mengambil alih tugas baby sit para bocah yang 'mother complex' semua. Asalkan, dengan 1 syarat, setiap ada tawaran pekerjaan kepadaku, semuanya didiskusikan dengan suami. Cucok nggak jadwal alih peran. Kalau tabrakan, ya aku yang ngalah. Meski pun nilai order, bisa beli emas 10 gram ( x 560 ribu/gram).

Sabar...sabar...rejeki tak kemana. Menjaga anak, mengurus suami tetap tugas super mulia. Tak banyak para wanita yang memperolehnya.

Satu hal yang membuatku ingin lebih profesional dalam bekerja adalah menyediakan 'office room' di rumah. Alhamdulillah terwujud. Di situlah aku berjibaku saban malam menyelesaikan order. Juga mengonsep cerita dengan serius. Di ruang inilah aku menyimpan segudang cita-cita. Membuka usaha terjemahan, trade dengan pihak Jepang. Hanya dengan satu komputer dan printer.

                                                     Office Room Royalty Free Stock Photo - Image: 17435195

Aku, suamiku dan si pekerjaan, mungkin hubungan segitiga. Tetapi, insha Allah hubungan yang sehat dan saling menyemangati.

-apa kisahmu kawan?

1 comment:

Mynesha said...

Salam kenal mbak.
Nyasar ke blog ini karena googling komunitas IIDB, tertarik dengan posting mbak ini karena ada kata2 "karir di rumah".

Memang betul banget, kerja di rumah jatuhnya jadi lebih susah daripada kerja di kantor.
Pas banget beberapa minggu lalu saya baru posting soal ini juga di blog.
Mbak hebat, bisa bertahan sampai bertahun2.
Saya cuma tahan sampai anak umur 2 tahun aja, nyerah karena anak udah tambah "kreatif" cari perhatian ibunya.

Jadi inget, jaman kerja kantoran dulu, kalau udah mepet deadline dan kita ngurung diri di ruang kerja, nggak ada yang berani ganggu, bos sekali pun kalau iseng bikin konsentrasi buyar bisa kena semprot :D
Tapi bos kecil di rumah ini, ternyata nyalinya lebih gede daripada bos di kantor, udah pasang muka serem pun tetep aja gelendotan dan merengek, "Ibuuuu, gendooong"
Akhirnya terpaksa luluh juga, peluk2 anak, kerjaan ditinggal. Hahaha.

Yah, namanya ibu2, gimana pun jengkelnya digangguin anak, tetep aja momen2 dipeluk anak terasa jauh lebih berharga daripada paycheck 8 digit :)