Sunday, April 28, 2013

PKL ADALAH PATNERNYA PARA BUNDA




Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba: FEMINA FOODLOVERS Blog Competition 2013 
World Street Food Congress 2013, Femina FoodLovers, Femina. 
http://www.femina.co.id/blog.competition#.UX3VOdjKK_A

PKL ADALAH PATNERNYA PARA BUNDA
Oleh: Ellovianty Nine

Pedagang kaki lima seperti tak mengenal ‘low bat’. Dalam kurun waktu 24 jam sehari, mereka selalu berada di jalanan. Silih berganti melayani pembeli. Seperti toko 24 jam saja.

Ini yang sangat membantu para ibu rumah tangga, seperti diriku. Ada kalanya, pagi-pagi urusan memandikan anak-anak sudah menguras enerji. Atau ketika sibuk urusan di luar rumah, dalam perjalanan pulang selalu ada buah tangan yang bisa dibeli di pinggir jalan.

Terkadang bingung, mau masak apa karena bosan tiap hari masak. Tinggal main ke tempat-tempat yang dihuni banyak PKL. Susuri saja satu per satu, pasti dapat ide untuk dibawa pulang.
Bukan berarti ibu rumah tangga tidak mau masak. Tapi, para bunda kan manusia juga. Pasti akan mengalami sakit, atau punya pekerjaan lain yang menguras enerjinya seharian, sehingga tidak sempat memasak.

Dengan adanya PKL, aku jadi sangat terbantu. Lontong sayur, bubur, nasi kuning, adalah menu sarapan favorit anggota keluarga di kala ‘urgent’. Aku tinggal bertanya, mau makan apa? Setiap anggota keluarga pasti punya keinginan berbeda. Setelah mengolektif pesanan, aku menggandeng tangan si bungsu untuk belanja ke PKL terdekat. Sedangkan suamiku akan memback-up kepergianku dengan memandikan anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. See, good collaboration, kan?

Dengan menenteng aneka makanan kembali ke rumah, wajah para anggota keluarga jadi ceria. Ah…aku pun bisa bernapas lega karena tinggal menyuapi anak-anak. Waktu sempit, masak tak sempat, namun suami dan anak-anak tetap perlu dipikirkan sarapan paginya. Solusi mengatasi masa-masa urgent ini, ya memang belanja ke pedagang kaki lima.

Selain ibu rumah tangga, keberadaan PKL sangat membantu para bujangan, para anak kos, dan wanita-wanita bekerja.

Hasil bincang-bincang dengan banyak pedagang kaki lima langganan, kebanyakan mereka bercerita bahwa persiapan dimulai jam tiga dini hari. Ada yang baru pergi belanja ke pasar tradisional. Ada yang sudah mulai meracik bahan makanan. Setelah siap, jam empat sudah ada yang pergi ke tempat mereka biasa mangkal. Membuka tenda, menyiapkan gas dan kompor, dan menyusun peralatan makan yang diperlukan.

Makanan biasanya dibawa dari rumah dalam keadaan sedang panas-panasnya. Fresh from the oven, begitulah. Sehingga ketika pembeli pertama muncul, santapan bisa disajikan dalam keadaan mengepul. Tidak sedikit pedagang kaki lima ini berusia lanjut dan pasangan suami istri.

Ketika aku masih bujangan dan bekerja di bilangan Thamrin, Jakarta, ada satu pasutri tua yang menjajakan gado-gado. Rasanya yang lezat, membuat antrian panjang. Padahal mereka tidak punya tempat khusus untuk menampung para pembeli. Misalnya, kursi dan meja panjang. Hanya ada kursi plastik berwarna merah yang sanggup mereka sediakan. Mereka mangkal di salah satu sudut selokan yang di atasnya ada jembatan beralas semen.

Pasti terbayang kan makan ditemani lalat, tikus-tikus yang melintas dan sibuk mencuri remah-remah yang jatuh dari pembeli. Setiap menerima pesanan dalam piring sederhana, aku makan dengan lahap. Karena memang enak sekali. Campuran sayurannya sangat sederhana, kol, toge dan bayam. Memperlihatkan bahwa mereka hanya sanggup membeli tiga sayuran itu. Tapi kalau dipikir-pikir yang membuat gado-gado mereka enak adalah rasa cinta yang masuk ketika si bapak yang sudah tua mengulek bumbunya. Ditemani sang istri yang tak kalah tua, tetapi memiliki tangan yang lincah menata potongan sayur dan lontong di piring-piring.

Pernah suatu kali aku tak kebagian gado-gado.

“Maaf Neng, hari ini laku sekali. Alhamdulillah. “

“Yaa…” Aku dan beberapa teman sekantor bernada sumbang. Si Bapak dan Ibu malah tertawa.
Meski pun aku manyun, tetapi punya harapan bahwa besok bisa makan lagi. Jajanan sehat dan mengenyangkan. Apalagi buat wanita. Penting makan sayur dan sedikit mengonsumsi karbohidrat.

“Bapak dan Ibu tinggal dekat sini?” tanyaku iseng. Maklum terlanjur datang dengan penuh harapan tapi tidak kebagian.

“Jauh, Neng.” Si Ibu menjawab.

“Di mana?”

“Di Slipi!”

Deg! Aku kaget. Aku tahu daerah Slipi. Tapi terus terang tak pernah menghitung berapa kilometer jauhnya dari Thamrin. Kalau naik bus, bisa 20 menit lebih baru sampai.

“Gerobaknya di simpan di mana, Pak?” tanya kami antusias.

“Didorong.”

“Pulang-pergi?” tanyaku sambil mendelik.

Mereka terkekeh sambil mengangguk. 

“Habis pulang harus belanja sayuran buat besok,” kata si Bapak.

Aku benar-benar terpana. Takjub membayangkan mereka mendorong gerobak yang tampak berat, berkilo-kilo meter. Apalagi dengan kondisi jalanan Jakarta yang jauh dari kata ‘bersahabat’.

Aku yakin bahwa gado-gadonya memang nikmat karena kerja keras mereka mendorong gerobak ke Thamrin sejak subuh. Lalu kembali mendorong gerobak itu ke Slipi dengan beratap teriknya sinar matahari. Rahmat Allah swt ada di dalam usaha mereka itu. Apalagi mereka menyajikan bumbu yang langsung diulek di tempat. Terasa segar, tidak seperti bumbu yang sudah dibuat tengah malam atau mungkin hanya dipanaskan sisa-sisa kemarin.

4 comments:

lita alifah said...

perjuangan seorang pedagang itu mb. semuanya di lakukan demi menafkahi anak istri. memudahkan pembeli juga biar gak masak hehe

aku juga seneng jajan klo lagi males masa, ada PKL jadi terbantu sekali, tinggal beli langsung dimaka tanpa repot masak (kan lagi males masak) :D

bestfriend said...

iya bener banget. ada PKL yang berdagang sampai 20 tahun di tempat yang sama. Takjub deh.

anita yuniar said...

PKL ga ada matinye deh, dicari terus terutama sama Satpol PP..hehe.

Knp mrk bisa bertahan dan tetap maunya jualan di pinggir jalan? karena lebih memudahkan pembeli terutama dlm kondisi darurat.

keke naima said...

makanan PKL itu banyak juga yg enak2 loh :)