Thursday, April 11, 2013

BICARA TENTANG UANG, BERARTI BICARA TENTANG KEPERCAYAAN (part-3)

Trust Royalty Free Stock Image
Masih teringat pada suatu hari, di tahun 1998. Setahun setelah aku memulai hidup sebagai pelajar setengah TKI di Jepang.

Waktu itu, aku, sempai (seniorku) dan adik seniorku yang baru datang ke Jepang, bertiga mengunjungi rumah orangtua angkatnya.

Sesampainya di sana, kami disambut sangat hangat oleh tuan rumah. Sebut saja Yamada-san. Yamada-san sudah berusia 60 tahun. Dulu, dia pernah tinggal di Indonesia. Karena itulah dia mau menjadi orangtua angkat bagi adik seniorku. Selain itu, dulu (katanya) si sempai sangat membantunya selama di Indonesia itu. Jadi, kesimpulan ini bentuk balas budi Yamada-san kepada sempaiku.

Acara ngobrol ringan kami tiba-tiba sedikit terusik ketika sang istri muncul dengan tiga cangkir teh hijau Jepang. Sebenarnya si Ibu tidak bermaksud duduk bersama dengan kami. Mungkin ini juga semacam norma dan etika, bahwa istri Jepang jangan ikut campur urusan suami.

Tetapi, sepertinya si Ibu ingin menyampaikan sesuatu yang sudah dipendamnya lama. Tiba-tiba saja dia (yang tadinya sudah melangkah ke arah dalam rumah), berbalik arah dan duduk. Napan tetap dipegangnya, lalu dengan ketus dia berkata," Kalau menjadi orangtua angkat saja tidak apa-apa. Tetapi, tolong jangan pinjam uang kepada kami. Kami masih hidup!"

Accaaaahhh....
Jelegur!
Jebret.
Mati lampu daaah.

Kami bertiga tidak tahu harus berkata apa. Ada angin dingin menyelusup ke lubuk hati kami. Yamada-san jadi salah tingkah. Tetapi tidak membantah atau merevisi perkataan istrinya.

Dari situlah aku tahu, bahwa bicara uang, pasti berkaitan dengan kepercayaan. Orang Jepang memang bukan masyarakat yang mudah percaya, apalagi dengan orang asing. Kalau mereka memang percaya, pasti negara mereka akan seperti Amerika, atau seperti Indonesia yang heterogen isi penduduknya.

Terlepas dari masalah itu, aku ingat bahwa ada ajaran Rasulullah saw tentang tata cara meminjam uang. Bahwa:
1. Memberikan pinjaman disertai dengan keikhlasan,
2. Memberikan pinjaman dengan hati yang riang dan rela.
3. Pinjaman harus bersumber dari harta yang halal.
4. Pinjaman harus dicatat.
5. Pemberi pinjaman harus sabar menunggu kembalinya hutang. Sebaliknya, si peminjam jangan menunda-nunda pembayaran. Apalagi sengaja melupakan bahwa dia sedang berhutang. Pemberi pinjaman jangan menekan si penghutang apabila kondisinya tidak longgar/sedang kesusahan.
(sumber:http://islamquest.net/id/archive/question/fa15312)


Yang paling sering kita lupakan tentunya no-3. Mencatat! Mencatat!

(sekian)

     
 

No comments: