Wednesday, April 24, 2013

STREET FOOD INDONESIA, DARI LOKAL MENG'INTERNASIONAL'









Photo: Survey 13


Sejak kecil, sebenarnya aku tidak pernah merasakan makan di pinggir jalan. Memang tidak ada tradisi makan bersama sesekali di luar rumah dalam keluargaku. Itu karena Mamaku jago masak. Maklumlah orang Minangkabau. Apa saja dibuatnya. Dari sate padang, rendang, hingga jajanan tradisional.

Namun, setelah aku menikah dan memiliki keturunan, mulailah 'tradisi' makan diluar terbentuk. Awalnya aku meminta keistimewaan tidak masak di akhir pekan kepada suamiku, dan dia sangat setuju.

"Bosan juga tiap hari berada di rumah ya!" katanya menyetujui usulku itu. Selain itu mencoba masakan di luar rumah juga merupakan bentuk komitmen kami menyenangkan ketiga buah hati. Hari Minggu, kami jadikan 'hari keluarga makan di luar'.

Keinginan kami ini ternyata sangat didukung lingkungan tempat tinggal. Bandung adalah kota tempat kami kita menghabiskan hari-hari. Kota ini juga merupakan tempatku menghabiskan masa-masa bocah, ABG, sampai jadi mahasiswi. Suamiku pun begitu.

Adalah 'Car Free Day' yang dilaksanakan setiap hari Minggu yang telah memnuluska rencana kami jajan di luar. Untuk breakfast, kami kejar ke Bubur Mang Oyo yang terkenal. Setelah itu kami akan berolahraga ringan atau pergi jalan-jalan ke taman bermain. Jika hari sudah siang, dan perut pun sudah bersenandung, maka Mie Ayam di daerah Tubagus Ismail jadi tempat mengaso. Tempat ini sudah kami kenal sejak masa-masa kuliah. Itu pun sebenarnya bukan karena kami rutin pergi ke sana, seperti halnya teman-teman yang dulu ngekos di Bandung, tetapi karena mendengar cerita dari mereka saja.

Memori-memori berupa cerita dari teman-teman itulah yang membuat kami memberanikan diri masuk ke jongko-jongko yang letaknya di pinggir jalan. Tepatnya di satu garasi rumah. Ternyata setelah merasakan mie ayam difavoritkan sejak tahun 1990-an, memang nyata adanya. Selain itu, di tempat ini, ada pelengkap yang membuat riang hati. Misalnya, es duren aneka topping, pempek, dan roti bakar. Buat anak muda yang isi dompetnya pas-pasan, masih bisa mentraktir pacarnya dengan roti bakar dan es duren saja.

Tempat seperti itu membuat kami sekeluarga betah. Ada beberapa tempat duduk yang dibuat untuk duduk bersila. Jadi, para ayah dan ibu bisa santai makan meski pun anak-anak malah sibuk bermain. Anak-anak tidak akan merasa bosan karena harus duduk manis di kursi yang tinggi.

Pencarian makanan-makanan enak dan unik di pinggir jalan biasanya jadi hobi kami. Berdasarkan hasil keliling-keliling, pasti menemukan satu tempat yang (misalnya) mie baksonya uenak tenan! Padahal jarang ada orang yang bercerita, di tempat itu enak loh. Akhirnya, tempat seperti itu akan masuk list favorite keluarga.

Dan kami sudahi menikmati hari minggu dengan menyantap sate padang. Tentu saja di pinggir jalan.

Satu hal yang kuperhatikan dengan serius, adalah perubahan jenis makanan yang dijajakan di pinggir jalan. Saat ini tidak hanya makanan lokal, made in Indonesia saja. Sudah banyak masakan asing yang ikut merebut pasar peminat jajanan pinggir jalan. Tidak hanya kalangan anak muda yang ngekos, tapi sudah merambah ke kelompok penduduk asli. Orang dewasa, anak muda, para bocah, semua tumpah ruah di jajanan pinggir jalan berkelas 'internasional'.
Mobil colt terbuka, warung 'SUSHI' favorit banyak mahasiswa: foto sumber: pribadi

Jajanan pinggir jalan kita memang sudah tidak lagi hanya menyediakan masakan lokal. Masakan internasional pun turut mewarnai. Ada masakan kebab (Arab), hotdog-burger (amerika), mie kimchi- nasi campur bibimbab (korea), pasta-pizza (itali), sushi-ramen (Jepang). Masih banyak lagi yang mungkin belum tereksplore. Di tangan anak bangsa, masakan-masakan asing itu jadi bisa dinikmati segala golongan.


Alhamdulillah. Wisata kuliner jajanan pinggir jalan sudah naik derajat.

  • Jajanan Pinggir Jalan Pun Kini Makin Bersolek

Dengan adanya variasi ini, para orangtua bisa semakin mudah mengenalkan keberagaman budaya bangsa di dunia kepada anak-anak melalui kuliner. Siapa tahu, berawal dari icip-icip, anak-anak kita terpacu belajar hingga ke negeri asing.

Tidak hanya jenis masakan pinggir jalan saja yang semakin beragam, tetapi juga lay-outnya. Lapak-lapak kecil , sederhana dan jauh dari kata ‘bersih’ tentu saja tetap ada. Namun, sebaliknya kesadaran para pengelola jongko pinggir jalan tampaknya meningkat. Mereka berusaha menaikkan derajat jajanan pinggir jalan, menjadi lebih berkelas namun tetap ekonomis. Yakni dengan cara membuka lapak yang lebih menarik dan memperhatikan sisi higienitasnya. 

Tata cara pendekoran bangunan dan ruang menjadi sangat menarik. Lalu pemilihan warna, penataan kursi dan meja, menjadi lebih variatif. Pengunjung yang berasal dari segala lapis ekonomi benar-benar dimanjakan. Apalagi buat para generasi muda yang gila internet. Tidak mesti ke restoran mewah, lapak sederhana sekali pun kadang ada yang berani memasang papan ‘WIFI’. Tidak sedikit pengelola yang memikirkan kesehatan para pengunjungnya, yakni dengan cara memisahkan ruang untuk perokok dan tidak. Orangtua jadi lebih tenang membawa buah hatinya ke sana. Apalagi yang dicari?

Kuliner Bandung memang HEBRING EUY! Jajanan pinggir jalan bisa menjadi aset komoditas wisata yang membuat Bandung makin terkenal saja.

Photo: On survey-1
Berjajar "Pedagang Kaki Lima" dengan gaya yang manis, senada dan menjadi obyek wisata.

Selain menambah daya tarik wisata, juga membuka peluang usaha lebih luas. 
Tidak salah jika Bandung kini bertajuk kota wisata kuliner.

Mangga wilujeng sumping ka sadayana  (silahkan datang semuanya). 
Asal ulah ngabala sampah nya (asal jangan membuang sampah sembarangan ya).



*semua foto diambil sendiri oleh penulis.
 

1 comment:

keke naima said...

sy jg kl wiken nyaris gak pernah masak. Cari di luar aja :D

Bandung mah surganya makanan :)