Wednesday, May 16, 2007

Anak Buyaaaaaahhhhhhh

Di suatu malam.

Akang sedang maen-maen ama Alma. Trus aku ikutan.
Akang menghadapkan Alma ke depanku, kemudian aku ajak Alma bicara.

Aku: Almaaa......anak ibu sedang maen ama ayah yaa...
Alma: 'aaaaaaaa...' melonjak-lonjak kesenangan.
Akang: Wah, kok cuma anak ibu sih..............
Aku (kaget).
Aku: Nggak maksud apa-apa kok kang...cuma kebiasaan aja kali.
Akang: Iya, tapi ntar keimput loh. Alma taunya dia anak ibu.
Aku: iya..yaa...enaknya dipanggil gimana yaa...

Tiba-tiba Alma nyeloteh:
"Buyaaaahhhhhhhhhhh"

Aku memandangi akang.
Tring..tring..ide muncul nih.

Aku: Oke deh kang, mulai sekarang manggil Alma jadi 'anak buyaahh'. Maksudnya: anak ibu dan ayah.

Akang: siiiiiiiip

Ibu: Alma, makasih ya udah ngajarin ibu........

Saturday, May 12, 2007

Bayi itu sudah pandai...




Hari ini ALma keliatan nggak semangat. Ini terlihat dari gerakannya, responnya, tatapan matanya. Sejak kemarin mata sebelah kiri Alma agak merah. Dia sering sekali menggosok-gosok wajahnya di kala tidur. Seperti orang mengigau. Kalo mengigau kan berbicara, nah Alma biasanya menggaruk-garuk wajahnya. Ketika tidur suhu tubuh bayi akan naik, salah satu alasan mengapa sebagian bayi tidur sambil menggaruk-garuk adalah karena rasa panas di bagian wajah dan kepala. Akibatnya sering ada luka-luka kecil. Sesekali jari jemarinya yang mungil itu mengenai bagian mata. Akibatnya matanya ter-iritasi. (Atau bisa juga karena debu. )

Seperti biasa Alma bangun jam 10 pagi. Aku bersihkan wajahnya dengan air hangat. Lalu aku ganti bajunya sambil mengoleskan pelembab kulit-vaseline yang kuperoleh dari Dokter Kobayashi. Aku juga memberikan massage ringan ke seluruh tubuh dan kening Alma. Biasanya setiap bangun tidur Alma akan tersenyum lebar, tapi sejak pagi ini Alma tidak banyak tersenyum. Hmm...itu pertanda kalau dia kurang enak badan.
Setelah kuganti bajunya, Alma kugendong dan kubawa ke ruang tv. Untuk ganti suasana hatinya. Di sini pun Alma nggak terlalu semangat bermain. Dia malah marah-marah. Memukul-mukul mainan yang kuberi, lalu menggeser-geser tubuhnya yang kuletakkan di kursi malas ke bawah atau ke atas. Ketika akan kutelungkupkan, dia pun marah-marah. Aku segera mengendongnya, memeluknya, bernyanyi untuk menenangkannya.

Nafsu makannya pun tidak terlalu tampak. Setiap satu suap kusendokkan makanan ke mulutnya, dia langsung memasukkan tangannya. Seperti hendak menolak suapan berikutnya. Melihat hal ini aku terus terang merasa amazing. Bayi ternyata memiliki respon tersendiri untuk menolak.

Hari ini aku sudah membulatkan tekad untuk menyelesaikan setrikaan. Kebetulan jumlah baju yang menumpuk tinggal sedikit lagi. Dan itu pun hanya baju-baju ALma. Aku pindahkan Alma dan pernak-pernik mainan, kasur,kursi malasnya ke ruang serba guna di apartemen kami. Di ruang ini ada baby bed, seperangkat komputer dan printer, meja setrika, juga rak buku. Di ruangan ini aku dan suami sering berjamaah. Makanya kami sebut ruang serba guna.
Sambil menyetrika Alma yang telah duduk di kursi malasnya ku dekatkankan ke jendela yang membatasi ruangan ini dengan branda luar. Di situ ada sinar matahari sore yang menyengat masuk tetapi tidak panas. Udara hari ini bagus, tetapi sedikit dingin.Dengan mendekatkan Alma kepada udara luar akan membantu pembentukan kekuatan dalam tubuhnya. Sedangkan cahaya matahari sebisa mungkin tidak langsung dikenakan kepada bagian tubuhnya. Menurut dunia kedokteran Jepang saat ini, kebiasaan dan kepercayaan bahwa memandikan bayi dengan cahaya matahari akan memenuhi kebutuhan bayi akan vit D sudah dianggap tidak layak lagi. Mengapa? ,karena cahaya matahari zaman sekarang sudah tidak seaman dulu lagi. Terutama dengan adanya kenaikan panas bumi yang mengakibatkan lapisan ozon telah mulai robek. Adalah berbahaya memandikan bayi zaman sekarang dengan cahaya matahari yang tidak lagi sepenuhnya terhalangi oleh lapisan ozon. Sebagai gantinya pemenuhan vit D dapat diperoleh melalui makanan.

Alma sangat kooperatif. Dia sangat menikmati udara luar yang sesekali terasa dingin olehku. Hanya 20 menit Alma bertahan dengan kondisi baru itu, dan dia mulai merasa bosan lagi.
Yang menarik bagiku selama ini adalah, rasa bosan yang dialami bayi bisa langsung dialihkan dengan suara ibunya atau anggota keluarga yang lain.Misalnya aku bernyanyi, atau mengajaknya bicara sambil menatap matanya dalam-dalam. Maka dia akan senang. Ketika aku mengeluarkan suara, maka Alma akan segera menyahut. Akhirnya terjadilah percakapan antara aku dan bayiku. Suara yang dikeluarkan ALma disebut 'Nango' dalam bahasa Jepang. Yakni bunyi-bunyi seperti 'Aaaaaa', mengoceh tanpa suku kata, bernada panjang dan terkadang melengking. Itu pertanda dia senang. Apabila sang ibu atau ayah mencoba menyesuasaikan diri dengan ikut bernada yang sama, maka bayi akan senang sekali. Dia akan mengerti bahwa di depannya ada lawan bicara.
Bayi terlahir sudah lengkap dengan kepandaiannya. Maka tugas orang tualah yang mengaktifkan, mengarahkannya, melatihnya dengan cara memberi respon yang cukup banyak. Dengan cara berinteraksi seperti menyentuh tubuhnya, bernyanyi, mengajaknya berbicara,akan membuat orang tua bisa banyak belajar kapan bayi itu senang, kapan bayi itu tidak senang.

***Ketika tulisan ini selesai, Alma telah tertidur di belakang ku. Masih banyak misteri kepandaian yang akan kau ajarkan pada kami Nak....

Friday, May 11, 2007

Ofuro



Sudah 2 hari belakangan ini, aku mandiin Alma dengan cara masuk ofuro. Ofuro itu semacam bath-tub nya orang Jepang. Bentuk ofuro di apartemen kami segiempat dan ada kedalamannya. Cukup untuk menampung tubuh orang dewasa. Masuk ofuro itu dengan cara duduk. Hmm..berendam air panas emang uuueennaak. Sebenarnya tujuan masuk ofuro itu adalah agar Alma bisa tidur pules. Kalo badan anget kan pasti bikin ngantuk. Ternyata eh ternyata, nggak terlalu ngaruh ke Alma...Habis ofuro emang Alma ngantuk, apalagi di massage ibu. Tapi jam tidurnya tetap aja pendek..gubrak deh!. Masuk ofuro itu idealnya malam hari, sekitar jam 8 ke atas. Sebelum tidur. Kata teman-teman, menurut buku pun cara ofuro dengan air hangat bisa membuat baby pulezzz tidurnya. But, buat Alma nggak ngaruh tuh!. Tetap aja lincah, cenghar dan segar bugar. Selama di dalam ofuro aku nyanyi-nyanyi buat Alma. Dia keliatan senang. Apalagi kakinya bisa berenang-renang....Ayo nak, keep ofuro-an...Ayah...ikutan yuukkk.

Wednesday, May 02, 2007

Nihongo Gakko...ohh..riwayatmu kini

Udah lama sebenarnya ingin curhat tentang satu hal, tapi nggak terlaksana aja. Kebetulan hari ini sejak pagi udah kepikiranmau nulis, eh curhat. Dipaksain ah...mumpung Alma lagi bobok . Yang mau dicurhatin tuh sebenarnya rada ruwet dan kayak benang kusut. Nggak tau deh selesai ngebaca ini, sahabat2 pembaca (ciee..)ikutan kusut. Hehehe..jangan ampe kejadian deh.
Isi curhatku berawal dari tahun 1996 (**tring..tring..melayang-layangseperti time mechine). Aku berangkat ke Jepun tuh lewat program 'nihongo gakko'. Hmm..simpelnya, semacam sekolah bahasa Jepang. Selevel kursusan di atas dikit tapi dibawah sekolah tinggi..mungkin loh!soalnya nggak pernah ngecek ke Dikti-Jakarta. Cumaaa..yang bikin program ini menarik adalah, setiap calon siswa ntar di Jepun bisa kerja. Cari duit sendiri, dan diberi gambaran dengan uang itu bisa ngebiayain sekolah dan kehidupan sehari-hari. Siapa coba yang nggak kepengen. Info program ini aku dapat karena aku dulu mahasiswi sastra Jepang-D3 Unpad. Sebelum aku ikutan program ini, udah banyak senior bahkan teman seangkatanku yang nekat pergi dan ninggalin kuliahnya di Unpad. Kalo aku sih termasuk tipe manusia yang cuek cuek beibeh..cuek tapi rada butuh gituuu...Temen-temen pada kebelet berangkat, mosok aku nggak...hihih. Terus aku diskusiin sama ortu, boleh nggak nih berangkat. Tahun itu, ekonomi Indonesia belum hancur. So, biaya keberangkatan cuma 9 jt aja. Itu udah include: tiket pesawat ke Jepang (one way), administrasi ini itu masuk sekul, and biaya hidup 1-2 bulan pertama di Jepangnya nanti. Kebayang nggak sih, dengan uang segitu bisa brangkat ke negeri papan atas, yang kabarnya suseeeeh buat sekolah apalagi tinggal di sana. Kesempatan ikut program ini dulu sangat dibatasi, hanya untuk orang yang kuliahnya di sastra Jepang. Boleh di Unpad, bolehdi tempat lain. Pokoke, nyang megang hak untuk program ini UNPAD!. Ingetin ya: cumaUNPAD!.

Prosesnya rada belat belit...tapi nggak usah diceritain deh bikin bad memory kubalik aja. Dan bisa ngegosipin para dosen yang terlibat deh. Yang pasti: aku makasih banget udah diurusin ke Jepang.
Aku nunggu sekitar setengah tahun, akhirnya dinyatakan lulus seleksi dan brangkatnya tgl 7 April 1997. Nggak ada ujian untuk ikut program ini, hanya perlu ngisi formulir yang buanyak banget. Berisi data2 kita-calon siswa dan setelah diisi akan dikirim ke 'nihongo gakko' yang dituju. Lalu diproses, di cariin'ortu angkat', dan kalo 'ortu angkat' bilang: Yes, bisa deh brangkat. Jadii..dulu itu keberangkatan calon siswa tergantung banget ama ada tidaknya calon orang tua angkat. Tentunya juga dokunya ada or tidak.

Akhirnya aku sun papa, mama di airport sambil berjanji nggak akan ngerepotin beliau-beliau soal financial selama aku kuliah di Jepang...(ciieee kuliah bo!). Aku juga janji ke papa, bahwa selesai kuliah bahasa ini, aku ngelanjutin ke universitas. Kan aku baru punyai jazah D-3 sajah dari Unpad, nah mumpung sekolah ke Jepang sekalian aja ke universitas, ngelarin sarjana...gitu. Dulu itu semuanya terasa simpel..pel. Oya, program sekolah bahasa ini lamanya 1,5 atau 2 tahun. Selama itulah semua siswa nggak boleh pulang. Kenapa nggak boleh pulang?...setelah nyampe di sana, terus ngejalin hidup, aku baru tau makna nggak boleh pulang itu. Bukannya nggak boleh pulang, tapi...nggak bisa pulang. Duitnya dari mana jeng!.
Awal hidup disana aku ngerasa mulus2 aja. Baru seminggu nyampe, udah dapat part time. udah dapat kerjaan. Tapi ada teman-teman yang brangkatnya bareng ke Jepang yang susah dapat kerjaan. Banyak yang ngeluh karena kerja di Jepang tuh nggak bisa nyantai. Sambil kerja ngobrol dikit aja ditegur. Mesti berdiri berjam-jam, nggak boleh duduk. Emang di Indonesia! nyang kalo kerja sambil ngobrol!. Tapi, bisa jadi di Jepang juga keterlaluan,maksudku kayak robot...kerja serius banget. Senior ku di Jepang yang juga datang dengan program ini banyak banget yang kini berhasil. Baik yang memilih menetap di Jepang untuk bekerja, atau yang kembali ke tanah air.
Program ini seperti 'madu' yang dikerubungi lebah. Bunga yang saripatinya diminati serangga. Program seperti ini kini menjamur, baik di Indonesia maupun di Jepang sendiri. Yang tumbuh subuh di tanah air adalah pihak-pihak yang menjadi 'loket' penawaran hingga pengurusan untuk mengikuti program ini. Sedangkan di Jepang sendiri, terutama di wilayahTokyo, Shizuoka, Gifu, Kyoto, Nagoya dan Gifu, bermunculan sekolah-sekolah bahasa Jepang seperti tempat aku sekolah dulu. Kemunculan 'petugas loket' dan 'pihak sekolah bahasa' ini dibarengi dengan bertambahnya peminat dari tanah air. Sampai waiting list bo!. Tapi bagi yang berduit, siapa cepet dia dapat deh. Biayanya sekarang minimal 45 juta loh (wuuihh...takuut).

Kalo dulu (setauku), hanya UNpad (dalam hal ini universitas) yangmengurusnya. Tapi kemudian muncul pihak-pihak yang berkedok 'yayasan anu' yang bisa menjembatani program ini. Kemudian peminat yang mendaftar tidak harus bisa berbahasaJepang, siapa saja boleh. Dari tamatan SMA hingga hingga 35 tahun. Yang berusia lebih dari35 tahun meng'akali' usianya dengan bikin KTP palsu (beneran loh!). Nah yang menjadi masalah besar saat ini ada 3:
1. Biaya keberangkatan yang sangat besar. Rata-rata menjadi minimal 45 juta.
2. Tujuan sekolah di Jepang. Banyak sekali sekolah-sekolah baru yang manajemen sekolahnya buruk sekali, hingga lebih mementingkan memeras uang para siswa daripada mengajar siswa-siswa itu dan mencarikan kerja paruh waktu yang seharusnya menjadi andalan program ini. Banyak sekali yang mengumpat, marah-marah karena merasa tertipu dengan program ini, kemudian memutuskan lari menjadi imigran gelap.
3. Pihak yayasan yang hanya bertujuan meraup uang sebanyak-banyaknya. Padahal perlindunganterhadap para siswa yang terlantar (baik dari segi pendidikan, maupun tidak mendapatkan pekerjaan) tidak diurus dengan baik. Dianggap: itu sih urusan loe!. Pahitnya lagi, beberapa orang pemilik yayasan ini adalah orang yang bekerja di Kedubes RI-Tokyo! Rasanya sama aja seperti menyelundupkan TKI-ilegal berkedok siswa.

AKu prihatin banget dengan perkembangan nihongo gakko sekarang ini.AKu bisa menulis ini karena aku pernah terlibat di dalam pengurusan pengiriman siswa-siswa tersebut.Sekitar tahun 2005 (masih di tanah air), aku ditawari untuk bantu-bantu sebuah yayasan untuk program ini. Kebetulan nyang punya yayasan aku kenal keluarga. Dengan pemilik yayasannya sendiri belum pernah ketemu muka, tapi tau crita-critanya dari ortu dan sanak saudaranya. Plus karena dulu senior di SMA,rasanya udah yakin aja kalo tujuan program ini bakal baik.
Ternyata eh ternyata, nggak semulus itu. Aku berbusa-busa kepada semua calon siswa yang aku temui. Aku bilang bahwa program ini baik, bisa bikin kita mandiri. Aku bisa crita detail ke calonsiswa/peminat karena aku juga dulu pernah menjalani program seperti ini. Sayangnya kebanyakan dari para siswa yang ikut akhirnya terlantar di Jepang. Tepatnya di kota Gifu,Nagano dan wilayah bagian Tokyo. Sekolah-sekolah yang dituju ternyata masih amatiran. Mereka dijanjikan dapat part-time, tapi bohong habis. Semua siswa mengeluhkan hal ini kepada pemilik/pengurus yayasan (termasuk kepadaku). Aku mati-matian mendiskusikan cara melindungi para siswa, tapi pemilik yayasan tidak brani bertindak lebih jauh. Akhirnya aku pukul genderang perang kepada pengurus yayasan dan keluar dari usaha itu. Aku merasa telah membohongi para siswa. Duuuh hujatan para siswa terasa seperti akan melemparkanku ke neraka. Aku tidak berdaya. Pemilik yayasan pun tidak lagi perduli. Abis sudah dayaku untuk melindungi mereka. Jumlah siswa yang terlantar terlalu banyak. Ada yang akhirnya lari dari sekolah dan menjadi imigran gelap. Ada yang visanya tidak diperpanjang, lalu dipulangkan. Ada yang bertahan melanjutkan ke institut yang aku ragukan keberadaannya. Tapi....kondisi seperti ini pasti tidak akan berhenti sampai di sini.

Aku sering mendiskusikan hal ini kepada seorang guruku di nihongo-gakko yang lama. Kebetulan guruku ini sudah jadi kepsek sekolah itu. Dia, sebagai seorang pendidik sekaligus pengurus sekolah merasakan hal yang sama seperti yang aku alami. Katanya, akhir-akhir ini pengiriman siswa ke sekolahnya tidak lagi seperti di angkatanku. Banyak sekali siswa yang akhirnya tidak sekolah dengan serius. Hanya sibuk bekerja, mengumpulkan uang dst. Akibatnya pihak sekolah ditegur oleh pihak imigrasi, karena terpantau banyak sekolah yang siswanya bekerja paruh waktu dengan jumlah waktu kerja yang melanggar UU kerja di Jepang. Kata beliau lagi, semuanya bisa jadi kusut begini karena pihak pengirim dari Indonesia tidak lagi mementingkan kualitas calon siswa, tapi hanya kuantitas. Kuantitas = money.
Sayang sekali program sebagus ini kini tidak lagi terjaga. Banyak sekali manfaat ikut program ini. Tapi karena kondisi ekonomi Indonesia yang kian jelek, sehingga banyak sekali calon siswa yang datang dengan uang terbatas. Bahkan ortu-ortu mereka mengusahakan uang keberangkatan dengan calon pinjam sana pinjam sini. Akibatnya para siswa sibuk membanting tulang untuk mencari uang. Lelah batin dan fisik. Akhirnya, uang yang didapat di Jepang hanya habis dipakai untuk melunasi hutang-hutang itu.Waktu untuk belajar pun berkurang. Apalagi tenaga untuk berfikir sudah terkuras karena bekerja mati-matian.
Semoga program ini tidak terlalu membusuk. Aku sendiri merasa bersyukur karena aku sudah punya hubungan baik sekali dengan guruku itu. Beliau mengatakan, apabila ada saudaraku (terutama yang kandung) akan kuliah di sekolah itu, bisa langsung mengirimkan formulir. Tidak perlu lewat yayasan anu atau Unpad. Setidaknya aku bisa merasa aman karena aku yakin sekolahku dulu itu sangat-sangat berpihak kepada para muridnya. Sehingga murid-muridnya pun bisa bersekolah dengan baik. Kalaupun ada saudaraku yang bersekolah di situ, insya Allah akan diperhatikan dan dididik dengan baik seperti aku dulu.
So, kalau ada dari rekan-rekan yang pernah mendengar program seperti ini, hati-hatilah memilih yayasan yang menjembataninya. Sebaiknya pilihlah program yang diurus oleh sebuah universitas. Karena resikonya lebih kecil. Cuma, waiting listnya itu akan jadi kendala. Yang sabar mungkin akan tidak merana.