Sunday, April 28, 2013

[BERBAGI] BERBISNIS ITU MUDAH LOH! (dari seminar IIDB, Bandung)



























Hai teman-teman. Aku mau berbagi info tentang berbisnis. Tapi maaf banget, karena catatan ini tidak aku olah lagi. Semuanya sesuai dengan yang kurangkum di acara. Tidak sempat dibenahi dengan kalimat-kalimat lebih panjang lagi. Semoga masih bisa dinikmati ya.



 "Mengedukasi dan Menginspirasi- Temu Komunitas Ibu-Ibu Doyan Bisnis "
Women in Business (MomPreuneur)
FB :IIDB
Sabtu, 27 April 2013 Graha Bank Mandiri, Jl. Soekarno hatta (batununggal), Bandung-Jawa Barat Indonesia
*nyesel nggak bawa kartu nama.
*hang out di tempat seperti ini sangat membawa manfaat, berupa ilmu, trading, dll.

Tema: 1. Mencari ide usaha,
           2. Mencari modal,
           3. Memasarkan/marketing.

Pembukaan • Ibu Ani Hadiyono, istri dari pejabat Bank Mandiri.

Wanita Indonesia sudah semakin cerdas dan mau mengembangkan potensial dalam berbisnis. Untuk itu jika ingin berbisnis, haruslah sungguhan. Karena itu pelajarilah ilmunya melalui workshop ini. Jaman dulu kesempatan berbisnis masih sangat terbatas. Namun jaman sekarang, teknologi semakin canggih untuk berbisnis antar kota, bahkan antar negara. “Marilah wahai Wanita Indonesia, kita berkarya.”
 
 • Narasumber-1 INDARI MASTUTI
Inspiring Woman Nova 2011 dan Wirausaha Muda Mandiri 2011 *maaf kalau salah ketik

Photo: Buat resensi di blog-1
Mbak Iin, dengan penuturannya yang benar-benar 'menginspirasi'


 “BISNIS ITU MUDAH”

Hobi menulis, 1996 mulai debut menulis. Brand, Inscript Creative. Hobi beli sepatu, lalu dibisniskan. Dan sangat enjoy karena selain menghasilkan juga bisa dikembangkan.

Kenapa bisnis itu tidak mudah?
1. Mengatur WAKTU, Anak bangun, sakit, minta dilayani, tapi bersamaan order masuk. Pebisnis wanita kebanyakan sekarang berbisnis dengan cara online, misalnya FB/T/BBM, dll.
 2. Wanita berbisnis yang mengikuti suami pindah2 tempat bekerja (KELUARGA) , terkadang harus mengorbankan bisnisnya (bisnis tutup).
3. Perlu modal. Mbak Iin (panggilan Indari) tidak mencari modal, tapi menjual IDE /SKILL.  Dimulai  dengan hobi masak  misalnya catering. Jika orang berbisnis dari hobinya maka akan berjalan lancar, tetapi jika tidak maka akan menemuni hambatan, hingga akhirnya tutup.
Contoh dari peserta yang hadir yakni Ibu Mercy (jakarta) seorang pebisnis mutiara. Awalnya dari jualan boneka. Lama kelamaan menerima berbagai permintaan.

MODAL Yang HARUS dimiliki:
1. Niat,
2. Kemauan, Sebaiknya dimulai hobi.
3. Target yang Jelas, Target tiap bulan jangan mencekek, bertahap tapi konsisten dan terus meningkat. 4. Kemampuan Anda sendiri. Meningkatkan pengetahuan di bidang yang kita miliki dengan banyak belajar. Menelorkan inovasi-inovasi baru. Baca pasar. Online. Googling. Belajar dengan orang-orang yang sudah berbisnis duluan.

Yang perlu dilakukan dalam berbisnis:
1.  Praktik, Coba bikin, ajukan kebanyak orang (tester), dianggap tidak enak, bikin lagi.
2. Rencana Bisnis,
3. Action! MANAJEMEN “ACTION”

Wanita yang berbisnis harus pintar mengatur waktunya. 
1. Tidak boleh begadang.
2. Pagi-pagi untuk servis anak.
3. Anak-anak pergi, kita online.
4. Anak pulang makan siang bareng.
5. Maka manajemen waktu harus didiskusikan dengan suami.
6. Ketika Ibu pebisnis harus pergi keluar rumah, siapa yang handle urusan rumah tangga siapa?

MANAJEMEN “UANG” dibagi menjadi:
1. Uang dapur,
2. Uang bisnis,
3. Gaji diri sendiri.

Kesalahan ibu rumah tangga adalah MENCAMPURKAN SEMUA UANG:
Kebanyakan profit sendiri pasti untuk beli hal-hal yang bersifat pribadi.

 Agar bisnis ibu rumah tangga berkembang , maka:
1. Bedakan uang dapur dan uang bisnis.
2. Gaji diri sendiri! Misalnya, 10% dari profit.

MANAJEMENI “Stress” Kalau untung, senyum. Kalau rugi, stress. Seolah-olah bisnis itu harus selalu untung, tidak boleh rugi. Padahal, bisnis itu dari sekian kali berjalan, biasanya hanya sedikit untung banyak rugi. Karena itulah kita harus memajemeni “stress” anda.

MANAJEMEN PIKIRAN :
1. Family Time,
2. Me Time,
3. Business Time. Ketiga waktu ini harus dikelola dengan baik agar usaha kita berkembang.

AGAR BISNIS BERJALAN.
1. Bisnis harus punya MENTOR. MENTOR = SAHABAT. Untuk pebisnis dengan profit 5 juta, bisa minta pendapat mentor yang omsetnya sudah 25 jt, dstnya.
 2. RIVAL = patner. Jangan menganggap pesaing itu rival saja, tapi mereka juga patner untuk membaca kekurangan diri kita sendiri.
3. RUGI = Untung. Harus bisa menerima rugi . Jangan terlalu jingkrak-jingkrak kalau dapat untung. 4. GAGAL = sukses. Akrabi kegagalan, sekaligus kesuksesan.
5. HATI < Profesional. Jangan masukkan saudara, teman dan sahabat.
6. MALU harus lebih kecil dari BERANI

Pertanyaan dari peserta:
1. Banyak sekali tips2 bisnis. Dan itu terkesan mudah. Tapi yang paling sulit adalah mendapatkan tips2 ketika bisnis kita drop.

Jawaban dari Mbak Iin:
 Mbak Iin pernah drop. Biasanya per bulan 250 juta/bulan. Dia merasa dengan keuntungan itu bisnisnya keren. Tapi dia lupa melihat kondisi di sekelilingnya. Iklim bisnis berubah. Iin memPHK karyawannya besar-besaran. Beberapa karyawan dipertahankanya, tapi akibatnya dia menghutang. Akhirnya, dia membangun jaringan pertemanan, maka muncullah IIDN. Kemudian, dia mulai ikut kompetisi agar dapat uang penutup hutang. Mbak Iin juga general check-up bisnisnya ke banyak kompetisi. Pesannya, jika bisnis kita ngedrop jangan jadi lemah. Pebisnis harus kuat demi menyelematkan bisnisnya, keluarganya dan dirinya sendiri.

*sampai di sini dulu, besok-besok dilanjut para catatan narsub ke dua.
Lgya Pencaduhujan (Miminya IIDB), dakyu dan Mbak Iin (owner IIDN dan IIDB)

PKL ADALAH PATNERNYA PARA BUNDA




Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba: FEMINA FOODLOVERS Blog Competition 2013 
World Street Food Congress 2013, Femina FoodLovers, Femina. 
http://www.femina.co.id/blog.competition#.UX3VOdjKK_A

PKL ADALAH PATNERNYA PARA BUNDA
Oleh: Ellovianty Nine

Pedagang kaki lima seperti tak mengenal ‘low bat’. Dalam kurun waktu 24 jam sehari, mereka selalu berada di jalanan. Silih berganti melayani pembeli. Seperti toko 24 jam saja.

Ini yang sangat membantu para ibu rumah tangga, seperti diriku. Ada kalanya, pagi-pagi urusan memandikan anak-anak sudah menguras enerji. Atau ketika sibuk urusan di luar rumah, dalam perjalanan pulang selalu ada buah tangan yang bisa dibeli di pinggir jalan.

Terkadang bingung, mau masak apa karena bosan tiap hari masak. Tinggal main ke tempat-tempat yang dihuni banyak PKL. Susuri saja satu per satu, pasti dapat ide untuk dibawa pulang.
Bukan berarti ibu rumah tangga tidak mau masak. Tapi, para bunda kan manusia juga. Pasti akan mengalami sakit, atau punya pekerjaan lain yang menguras enerjinya seharian, sehingga tidak sempat memasak.

Dengan adanya PKL, aku jadi sangat terbantu. Lontong sayur, bubur, nasi kuning, adalah menu sarapan favorit anggota keluarga di kala ‘urgent’. Aku tinggal bertanya, mau makan apa? Setiap anggota keluarga pasti punya keinginan berbeda. Setelah mengolektif pesanan, aku menggandeng tangan si bungsu untuk belanja ke PKL terdekat. Sedangkan suamiku akan memback-up kepergianku dengan memandikan anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. See, good collaboration, kan?

Dengan menenteng aneka makanan kembali ke rumah, wajah para anggota keluarga jadi ceria. Ah…aku pun bisa bernapas lega karena tinggal menyuapi anak-anak. Waktu sempit, masak tak sempat, namun suami dan anak-anak tetap perlu dipikirkan sarapan paginya. Solusi mengatasi masa-masa urgent ini, ya memang belanja ke pedagang kaki lima.

Selain ibu rumah tangga, keberadaan PKL sangat membantu para bujangan, para anak kos, dan wanita-wanita bekerja.

Hasil bincang-bincang dengan banyak pedagang kaki lima langganan, kebanyakan mereka bercerita bahwa persiapan dimulai jam tiga dini hari. Ada yang baru pergi belanja ke pasar tradisional. Ada yang sudah mulai meracik bahan makanan. Setelah siap, jam empat sudah ada yang pergi ke tempat mereka biasa mangkal. Membuka tenda, menyiapkan gas dan kompor, dan menyusun peralatan makan yang diperlukan.

Makanan biasanya dibawa dari rumah dalam keadaan sedang panas-panasnya. Fresh from the oven, begitulah. Sehingga ketika pembeli pertama muncul, santapan bisa disajikan dalam keadaan mengepul. Tidak sedikit pedagang kaki lima ini berusia lanjut dan pasangan suami istri.

Ketika aku masih bujangan dan bekerja di bilangan Thamrin, Jakarta, ada satu pasutri tua yang menjajakan gado-gado. Rasanya yang lezat, membuat antrian panjang. Padahal mereka tidak punya tempat khusus untuk menampung para pembeli. Misalnya, kursi dan meja panjang. Hanya ada kursi plastik berwarna merah yang sanggup mereka sediakan. Mereka mangkal di salah satu sudut selokan yang di atasnya ada jembatan beralas semen.

Pasti terbayang kan makan ditemani lalat, tikus-tikus yang melintas dan sibuk mencuri remah-remah yang jatuh dari pembeli. Setiap menerima pesanan dalam piring sederhana, aku makan dengan lahap. Karena memang enak sekali. Campuran sayurannya sangat sederhana, kol, toge dan bayam. Memperlihatkan bahwa mereka hanya sanggup membeli tiga sayuran itu. Tapi kalau dipikir-pikir yang membuat gado-gado mereka enak adalah rasa cinta yang masuk ketika si bapak yang sudah tua mengulek bumbunya. Ditemani sang istri yang tak kalah tua, tetapi memiliki tangan yang lincah menata potongan sayur dan lontong di piring-piring.

Pernah suatu kali aku tak kebagian gado-gado.

“Maaf Neng, hari ini laku sekali. Alhamdulillah. “

“Yaa…” Aku dan beberapa teman sekantor bernada sumbang. Si Bapak dan Ibu malah tertawa.
Meski pun aku manyun, tetapi punya harapan bahwa besok bisa makan lagi. Jajanan sehat dan mengenyangkan. Apalagi buat wanita. Penting makan sayur dan sedikit mengonsumsi karbohidrat.

“Bapak dan Ibu tinggal dekat sini?” tanyaku iseng. Maklum terlanjur datang dengan penuh harapan tapi tidak kebagian.

“Jauh, Neng.” Si Ibu menjawab.

“Di mana?”

“Di Slipi!”

Deg! Aku kaget. Aku tahu daerah Slipi. Tapi terus terang tak pernah menghitung berapa kilometer jauhnya dari Thamrin. Kalau naik bus, bisa 20 menit lebih baru sampai.

“Gerobaknya di simpan di mana, Pak?” tanya kami antusias.

“Didorong.”

“Pulang-pergi?” tanyaku sambil mendelik.

Mereka terkekeh sambil mengangguk. 

“Habis pulang harus belanja sayuran buat besok,” kata si Bapak.

Aku benar-benar terpana. Takjub membayangkan mereka mendorong gerobak yang tampak berat, berkilo-kilo meter. Apalagi dengan kondisi jalanan Jakarta yang jauh dari kata ‘bersahabat’.

Aku yakin bahwa gado-gadonya memang nikmat karena kerja keras mereka mendorong gerobak ke Thamrin sejak subuh. Lalu kembali mendorong gerobak itu ke Slipi dengan beratap teriknya sinar matahari. Rahmat Allah swt ada di dalam usaha mereka itu. Apalagi mereka menyajikan bumbu yang langsung diulek di tempat. Terasa segar, tidak seperti bumbu yang sudah dibuat tengah malam atau mungkin hanya dipanaskan sisa-sisa kemarin.

Wednesday, April 24, 2013

STREET FOOD INDONESIA, DARI LOKAL MENG'INTERNASIONAL'









Photo: Survey 13


Sejak kecil, sebenarnya aku tidak pernah merasakan makan di pinggir jalan. Memang tidak ada tradisi makan bersama sesekali di luar rumah dalam keluargaku. Itu karena Mamaku jago masak. Maklumlah orang Minangkabau. Apa saja dibuatnya. Dari sate padang, rendang, hingga jajanan tradisional.

Namun, setelah aku menikah dan memiliki keturunan, mulailah 'tradisi' makan diluar terbentuk. Awalnya aku meminta keistimewaan tidak masak di akhir pekan kepada suamiku, dan dia sangat setuju.

"Bosan juga tiap hari berada di rumah ya!" katanya menyetujui usulku itu. Selain itu mencoba masakan di luar rumah juga merupakan bentuk komitmen kami menyenangkan ketiga buah hati. Hari Minggu, kami jadikan 'hari keluarga makan di luar'.

Keinginan kami ini ternyata sangat didukung lingkungan tempat tinggal. Bandung adalah kota tempat kami kita menghabiskan hari-hari. Kota ini juga merupakan tempatku menghabiskan masa-masa bocah, ABG, sampai jadi mahasiswi. Suamiku pun begitu.

Adalah 'Car Free Day' yang dilaksanakan setiap hari Minggu yang telah memnuluska rencana kami jajan di luar. Untuk breakfast, kami kejar ke Bubur Mang Oyo yang terkenal. Setelah itu kami akan berolahraga ringan atau pergi jalan-jalan ke taman bermain. Jika hari sudah siang, dan perut pun sudah bersenandung, maka Mie Ayam di daerah Tubagus Ismail jadi tempat mengaso. Tempat ini sudah kami kenal sejak masa-masa kuliah. Itu pun sebenarnya bukan karena kami rutin pergi ke sana, seperti halnya teman-teman yang dulu ngekos di Bandung, tetapi karena mendengar cerita dari mereka saja.

Memori-memori berupa cerita dari teman-teman itulah yang membuat kami memberanikan diri masuk ke jongko-jongko yang letaknya di pinggir jalan. Tepatnya di satu garasi rumah. Ternyata setelah merasakan mie ayam difavoritkan sejak tahun 1990-an, memang nyata adanya. Selain itu, di tempat ini, ada pelengkap yang membuat riang hati. Misalnya, es duren aneka topping, pempek, dan roti bakar. Buat anak muda yang isi dompetnya pas-pasan, masih bisa mentraktir pacarnya dengan roti bakar dan es duren saja.

Tempat seperti itu membuat kami sekeluarga betah. Ada beberapa tempat duduk yang dibuat untuk duduk bersila. Jadi, para ayah dan ibu bisa santai makan meski pun anak-anak malah sibuk bermain. Anak-anak tidak akan merasa bosan karena harus duduk manis di kursi yang tinggi.

Pencarian makanan-makanan enak dan unik di pinggir jalan biasanya jadi hobi kami. Berdasarkan hasil keliling-keliling, pasti menemukan satu tempat yang (misalnya) mie baksonya uenak tenan! Padahal jarang ada orang yang bercerita, di tempat itu enak loh. Akhirnya, tempat seperti itu akan masuk list favorite keluarga.

Dan kami sudahi menikmati hari minggu dengan menyantap sate padang. Tentu saja di pinggir jalan.

Satu hal yang kuperhatikan dengan serius, adalah perubahan jenis makanan yang dijajakan di pinggir jalan. Saat ini tidak hanya makanan lokal, made in Indonesia saja. Sudah banyak masakan asing yang ikut merebut pasar peminat jajanan pinggir jalan. Tidak hanya kalangan anak muda yang ngekos, tapi sudah merambah ke kelompok penduduk asli. Orang dewasa, anak muda, para bocah, semua tumpah ruah di jajanan pinggir jalan berkelas 'internasional'.
Mobil colt terbuka, warung 'SUSHI' favorit banyak mahasiswa: foto sumber: pribadi

Jajanan pinggir jalan kita memang sudah tidak lagi hanya menyediakan masakan lokal. Masakan internasional pun turut mewarnai. Ada masakan kebab (Arab), hotdog-burger (amerika), mie kimchi- nasi campur bibimbab (korea), pasta-pizza (itali), sushi-ramen (Jepang). Masih banyak lagi yang mungkin belum tereksplore. Di tangan anak bangsa, masakan-masakan asing itu jadi bisa dinikmati segala golongan.


Alhamdulillah. Wisata kuliner jajanan pinggir jalan sudah naik derajat.

  • Jajanan Pinggir Jalan Pun Kini Makin Bersolek

Dengan adanya variasi ini, para orangtua bisa semakin mudah mengenalkan keberagaman budaya bangsa di dunia kepada anak-anak melalui kuliner. Siapa tahu, berawal dari icip-icip, anak-anak kita terpacu belajar hingga ke negeri asing.

Tidak hanya jenis masakan pinggir jalan saja yang semakin beragam, tetapi juga lay-outnya. Lapak-lapak kecil , sederhana dan jauh dari kata ‘bersih’ tentu saja tetap ada. Namun, sebaliknya kesadaran para pengelola jongko pinggir jalan tampaknya meningkat. Mereka berusaha menaikkan derajat jajanan pinggir jalan, menjadi lebih berkelas namun tetap ekonomis. Yakni dengan cara membuka lapak yang lebih menarik dan memperhatikan sisi higienitasnya. 

Tata cara pendekoran bangunan dan ruang menjadi sangat menarik. Lalu pemilihan warna, penataan kursi dan meja, menjadi lebih variatif. Pengunjung yang berasal dari segala lapis ekonomi benar-benar dimanjakan. Apalagi buat para generasi muda yang gila internet. Tidak mesti ke restoran mewah, lapak sederhana sekali pun kadang ada yang berani memasang papan ‘WIFI’. Tidak sedikit pengelola yang memikirkan kesehatan para pengunjungnya, yakni dengan cara memisahkan ruang untuk perokok dan tidak. Orangtua jadi lebih tenang membawa buah hatinya ke sana. Apalagi yang dicari?

Kuliner Bandung memang HEBRING EUY! Jajanan pinggir jalan bisa menjadi aset komoditas wisata yang membuat Bandung makin terkenal saja.

Photo: On survey-1
Berjajar "Pedagang Kaki Lima" dengan gaya yang manis, senada dan menjadi obyek wisata.

Selain menambah daya tarik wisata, juga membuka peluang usaha lebih luas. 
Tidak salah jika Bandung kini bertajuk kota wisata kuliner.

Mangga wilujeng sumping ka sadayana  (silahkan datang semuanya). 
Asal ulah ngabala sampah nya (asal jangan membuang sampah sembarangan ya).



*semua foto diambil sendiri oleh penulis.
 

Monday, April 22, 2013

Ada Banyak Ibu Diantara Kita

Baru saja kita meninggalkan tanggal 21 April 2013. Keterlaluan rasanya jika tidak tahu itu hari perayaan seorang pejuang wanita, Raden Ajeng Kartini.

Kali ini aku tidak akan curhat tentang seorang Raden Ajeng Kartini, tetapi akan berbagi cerita tentang wanita-wanita yang menjadi panutan dalam hidupku.

Yang pertama tentu saja Ibunda tercinta. Beliau, sosok yang penuh talenta. Berkarir di luar rumah dan di dalam rumah sebagai seorang Ibu, dilakoninya dengan penuh tanggung jawab. Beliau juga sosok yang cukup terkenal di antara koleganya. Itu dikarenakan Bundaku pintar memasak, pintar berjualan baju, pintar menjahit, menyulam, merangkai bunga, membuat berbagai art-craft. Yang tak kalah pentingnya, beliau juga memiliki talenta di bidang dakwah dan mengaji. Selain kesibukannya sebagai seorang wanita karir, semasa berkarir beliau sering dikirim ke berbagai kota mewakili kantornya sebagai qori'ah.

Beliau bahkan mengalahkan rasa takutnya terbang sendirian ke Jepang untuk memenuhi undanganku mengenal Jepang (2004) dan ketika membantuku ketika lahiran anak kedua (2008) . Kisah tentang ini pernah kuikutsertakan dalam lomba menulis tentang Ibu di Gramediapustaka dan menjadi satu salah satu yang terbaik.




Kini di usia senjanya, beliau memiliki begitu banyak aset berupa bangunan dan usaha kecil yang mampu membuatnya tetap enerjik. Istilahnya gaulnya, NELI-nenek lincah. Namun di atas itu semua, beliau semakin men'gila' dalam urusan dakwah dan mengaji. Tidak mengenal kata lelah, beliau selalu menyempatkan diri untuk pergi menggali ilmu agama. Lalu ilmu yang diserapnya, dibagikannya cuma-cuma kepada lingkungan sekitarnya. Subhanallah, aku bahagia sekali memiliki Ibu yang di usia senjanya mengisi hidupnya demi sang Khalik tercinta, Allah swt.

Aku merasa beruntung tung tung punya Ibu seperti beliau. Ingin belajar mengaji dengan tajwid atau dilagukan, ada Ibu disampingku. Ingin belajar memasak, menjahit, menyulam, atau apa saja, tinggal duduk manis rapi di sampingnya. Bagiku, beliau adalah panutan. Namun sayang, aku masih jauh jika harus disandingkan dengan kemampuan-kemampuan beliau itu. Belum ada kepintaran yang menempel di tubuhku. Belum sempurna kemampuanku mendalami agama.

Namun, kata pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' sedikit banyak menempel pada diriku. Dengan menjadikan beliau panutan, aku diusiaku yang masih muda (39 tahun, masih muda kan?), ada banyak langkah-langkah beliau yang kujalani di usia muda. Misalnya sebagai pengusaha wanita tapi tetap sambil ngemong anak di rumah. Anak dan rumah tangga tetap menjadi prioritas. Usaha-usaha yang kujalani, bisa kukontrol lewat online, atau kopdar sekali sebulan dengan karyawan yang juga tidak banyak jumlahnya.

Selain Bunda kandungnku, ada seorang wanita lain yang berpengaruh dalam kehidupanku. Tak perlu kusebutkan nama beliau, tetapi ada banyak ilmu dan wejangannya yang tersimpan rapi dalam lubuk jiwaku.

Bundaku yang ini bukan bunda kandung. Beliau hadir dalam kehidupanku, karena pertemanan antar keluarga. Ayahku selalu mewanti-wanti, bahwa beliau dan suaminya adalah orangtuaku juga. Sejak aku mampu mengingat dan mengenali apa-apa yang beredar di sekitar tubuhku, wajahnya sudah menempel begitu saja. Kemana pun aku pergi, berpindah kota, tumbuh besar menjadi seorang remaja, Bundaku yang ini rasanya selalu ada. Padahal tidak serumah, bahkan tidak sekota. Tetapi, bayang-bayangnya seolah terus mengikutiku. Melindungiku dari jauh.

Banyak momen berharga dalam hidupku dan keluarga besarku dihadiri olehnya. Banyak cerita di antara aku dan Bunda 'angkatku' ini. Tidak sedikit yang boleh kami sebut 'rahasia'. Sebagai wanita dewasa, aku pernah melewati fase remaja hingga dewasa. Masa-masa gaul, tentu saja ada. Masa-masa di mana ada ketidakcocokan pendapat dengan orangtua. Biasanya Bunda 'angkatku' inilah yang menjadi penjembatan.

Dia tak pernah mengadu domba aku dan orangtuaku ketika kami bermasalah. Bahkan beliau sering menyadarkanku, arti orangtua yang sebenarnya. Dia jugalah yang selalu mengerti apa mauku, ketika ada masa-masanya orangtua kandungku tidak sepaham. Tetapi tidak ada yang salah dengan hubungan ini, toh semuanya mengarah kepada kebaikan.

Ketika kini beliau terbaring sakit, kakiku reflek berangkat menjenguknya. Meski pun jarak kami berjauhan. Menatap matanya, air mataku bisa berlinang. Mendengar suaranya yang lembut dan penuh wejangan, aku pun bisa menangis tersedu-sedu. Namun, ketika Bunda 'angkatku' sedang gelisah, ragu, galau, aku menggenggam tangannya dan mengatakan 'kita akan melewati ini semua'.

Lalu ada lagi Bundaku yang ketiga. Dialah mertuaku. Kesederhaan hidupnya. sifatnya yang bersahaja, selalu rendah hati dan selalu dikangeni para anak dan menantu untuk curhat, adalah sosok ideal seorang mertua.

Namun, beliau tetap seorang Ibu yang juga punya batas kesabaran, ada masanya mengeluh karena beliau pun manusia. Berdekatan dengan mertua membuatku merasa bukan seorang menantu, tetapi anaknya sendiri.

Yang ingin kucontoh dari Ibu mertuaku adalah, kesederhanaan hidupnya di kala usia senja. Tidak perlu punya puluhan baju cantik yang tersembunyi di balik lemari. Cukup sejumlah tujuh hari dan itu dipakai berulang kali.

Ibadahnya pun sangat khusus. Jika aku menginap di rumahnya, hati ini pasti kebat-kebit. Karena aku tak mau memalukan diriku sendiri. Bunda mertuaku ini selalu bangun tengah malam untuk tahajud.

Peran beliau terhadap kehidupan para putra-putrinya tidak hanya sebagai seorang ibu, tetapi juga 'ibu merangkap nenek' bagi para cucu. Ketika para anak menantu terjebak pada keterbatasan ruang dan gerak mengurus anak-anak sendiri, Bunda mertua siap melayani. Jadi, Bunda mertuaku ini seperti seorang wanita yang tak henti-hentinya merawat bayi hingga besar dan kembali ke pangkuan para orangtua yang menitipkan. Beliau paling bersedih jika para cucu lupa mengerjakan ibadah.

Beliau muara dari kesuksesan para anak dan cucunya. Kesemua anaknya sukses, berpendidikan tinggi, dan bertutur kata santun. Persis seperti beliau.

Aku cinta mereka bertiga. Karena ketiganya istimewa.

Apakah ada bunda-bunda tercinta di sekitarmu, sahabat?

Bandung, 23 April 2013

MERAIH IMPIAN STUDI KE JEPANG

Pada tanggal 19 April dan 21 April 2013, telah diadakan 'Japan School Fair 2013' (JFS '13) di dua kota, yakni Bandung (ITB) dan Jakarta (Universitas Atmajaya). Di dua tempat itu, aku berkesempatan bekerja sebagai penerjemah.

Ini adalah pengalaman pertama bagiku bekerja sama dengan klien di bidang pendidikan. Sebagai penerjemah, aku banyak berkenalan dengan klien yang datang ke Indonesia untuk berbisnis.

Acara JFS ini diselenggarakan oleh JIN (Japan Indonesia Network) dan NBC (Nihon Bunka Center) yang berkantor di Bandung. Allah swt membuka kesempatan ini kepadaku lewat informasi yang disebarkan pihak NBC melalui milis Komunitas Alumni Indonesia Jepang (KAJI, berkantor di Jakarta).

Acara di buka dengan penampilan (calon idol baru) dari negeri sakura. Nama grup girl-band ini VERGE. Kalau dibrowsing, kelompok ini masih sepi pemberitaan. Namun, di lokasi pameran penampilan mereka yang dinamis, kompak, berkostum semi ninja dengan baju bermotif kimono dan melantunkan beberapa lagu dalam bahasa Jepang mampu menyedot perhatian pengunjung. Bahkan salah seorang timku, Ms. Yamabayashi-san sampai naik kursi hanya untuk melihat penampilan mereka. Maklum, di depan stage, berdesak-desakan para pengunjung yang rata-rata anak muda.

Photo: VERGE-idol baru dari jepang (bentar lagi ngetop kali yee)

Pada hari pertama, pengunjung membludak tak terbendung. Ada sekitar 14 stand yang diwakili oleh berbagai lembaga pendidikan dari Jepang. Dua adalah berstatus universitas, sisanya lembaga kursus bahasa Jepang (di Jepang) dan sekolah kejuruan.

                   

Aku dipercaya mendampingi tim dari Universitas Shizuoka (universitas negeri yang berlokasi di kota Shizuoka). Kali ini mereka datang untuk mempromosikan program baru, yakni NIFEE. Program ini ditujukan:
1. Bagi lulusan SMA yang berminat ke bidang Engeneering (saja).
2. Setara S-1, dan
3. Wajib bisa berbahasa Jepang dengan 3 kategori.
     3.1. Lulus EJU dengan skor tes matematika dan IPA (kimia & fisika) masing-masing dengan 
            skor 120/200. Untuk mata ujian Bahasa Jepang harus berhasil meraih skor 200. 
     3.2. Lulus Nihongo noryoku shiken (JLPT) tingkat N1, N2 or N3. Jika memiliki N3 saja, maka
            minimum skor 135 dan mendapat rekomendasi dari guru bahasanya.
     3.3. Memiliki sertifikas TOEL, IELTS dengan skor masing-masing (bisa dibrowsing di
            websitenya  shizuoka university).
4. Jika tidak memiliki persyaratan tersebut, jalan yang harus dilalui adalah ikut ujian yang ditentukan
    di fakultas tersebut.
5. Pelamar harus berdomisili di Indonesia.
6. Harus lulus SMA dan berusia 18 tahun ke atas.
                           

Para pengunjung rata-rata berusia SMA dan sudah berkuliah S-1. Diantara mereka sesekali tampak para ayah atau ibu yang turut datang mendampingi.

Untuk peminat yang sudah berstatus mahasiswa, mereka bertanya tentang cara aplikasi ke program Master (S2) atau research student. Sayangnya, persyaratan memiliki kemampuan bahasa Jepang (yang menurut saya pribadi cukup berat), menjadi kendala paling besar. Wajah-wajah kecewa mereka tidak bisa ditutupi lagi. Sayang sekali rasanya melihat keinginan itu harus terjegal oleh persyaratan tersebut.

Dari pihak universitas sendiri, tidak memberikan kemudahan di bidang bahasa Jepang. Artinya para peminat harus benar-benar memiliki kemampuan berbahasa Jepang. Hal ini dikarenakan, perkuliahan disampaikan dalam bahasa Jepang.

Namun, sebenarnya tidak cukup hanya mampu berbahasa Jepang. Keharusan memiliki dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan masing-masing fakultas yang diminati, juga penting.

Pertanyaan yang juga sering muncul adalah:
1. Ada beasiswa?
2. Bagaimana dengan kehidupan di sana? Berapa biaya apartemen, dll.
3. Bisa kerja part time?
4. Sebagai muslim, bagaimana kalau mau salat, dll.

Pertanyaan seperti ini ditanyakan juga oleh pengunjung di hari kedua penyelenggaraan. Bedanya penyelenggaraan di Jakarta dan di Bandung, di Jakarta ini pengunjungnya sangat sedikit. Padahal durasi pameran berlangsung full, 8 jam. Sedangkan di Bandung hanya 5 jam dengan jumlah pengunjung mencapai angka 700 orang.

Menurut para sensei di stand tempatku bekerja, dari tahun ke tahun mereka menjadi salah satu pengisi pameran ini, memang selalu terjadi gap besar pada pengunjung. Jika pameran diadakan di Jakarta maka, sepi sekali. Hal ini dikarenakan, di Jakarta sering sekali digelar pameran pendidikan Jepang serupa. Meski pun EO penyelenggaranya berbeda. Sedangkan di daerah (Bandung, Surabaya, Yogyakarta), pengunjung akan datang membludak. Tetapi pada akhirnya, dari pengunjung yang datang, pengunjung Jakarta jugalah yang serius mendaftar. Hal ini dilatarbelakangi oleh kemampuan finansial para orangtua.

Animo generasi muda di tanah air untuk bisa kuliah di luar negeri, memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sudah tak terhitung lagi generasi Indonesia yang lulusan luar negeri, sekembalinya ke tanah air meraih posisi penting dalam masyarakat. Setidaknya, lebih mandiri, berwawasan cerdas dan banyak yang berani membuka usaha sendiri tanpa harus bersandar ke perusahaan-perusahaan multinasional dan internasional.

Generasi seperti inilah yang sangat diperlukan bangsa. Mampu menciptakan inovasi baru, tak segan meraih masyarakat lapisan menengah ke bawah untuk maju bersama.

Melihat, mendengar dan menjawab beragam pertanyaan yang masuk dari pengunjung, aku seolah bercermin pada diriku 17 tahun yang lalu. Sama seperti mereka, ingin rasanya bisa pergi ke tanah sakura itu. Sebuah impian yang jauh dan mustahil untuk diwujudkan. Sebab, banyak kendala untuk ke sana, khususnya finansial. Ditambah lagi,  kala itu (tahun 1997), informasi yang aku butuhkan masih minim.Baik dari dosen-dosen di kampus lama, atau melalui media tulis dan social media online.

Namun Allah swt berkehendak lain tentunya. Mimpi itu jadi kenyataan. Bukan hanya sehari, dua hari aku menginjakkan kaki di negeri sakura. Tapi ternyata hari-hari selama 10 tahun kulewati di sana, hingga dua buah cinta pun lahir di sana.

Untuk menjawab minat generasi muda Indonesia meraih impian kuliah ke Jepang, aku dan teman-teman yang memang 'mantan' pelajar di Jepang telah menelorkan buku yang pas untuk itu.
Ini dia:

Photo: Ini buku antologi yang memuat pengalamanku survive hidup di Jepang. Hari ini ikut aku ke Jakarta, untuk dipamerkan di Japan School Fair (nebeng lapaknya Universitas Shizuoka). Semoga diijinkan si pemilik lapak. Ini mengantisapasi serbuan pertanyaan dari pengunjung tentang know how pergi kuliah ke Jepang (mengenai cara cari beasiswa, living cost di sana, dll). Mohon doanya bagi para kontributor tulisan di buku ini.


Buku ini diterbitkan oleh LPPH (imprit Mizan), tahun 2011. Bersifat fiksi, namun berisi sejumlah fakta yang benar. Berisi kumpulan cerita dari 14 orang pelajar Indonesia yang menempuh dunia perkuliahan di Jepang. Ada yang lewat jalur beasiswa, dan non-beasiswa (bekerja paruh waktu atau 'arubaito'). Sebagian menempuh pendidikan mulai dari langsung S-2 hingga S-3. Sedangkan aku, melalui jalur kursus bahasa Jepang dulu di sana baru melanjutkan kuliah. 

Alhamdulillah buku ini laris manis tanjung kimpul. Bahkan kalau tidak salah best seller. Yang lebih menggembirakan, kisahku berjudul 'Pelajar 1/2 TKI' sudah dikembangkan menjadi skenario film dan insha Allah akan dilaunching di bioskop sekitar lebaran 2013 ini (sumber sutradara).

Seperti yang sudah kuduga, bahwa isi buku ini tak lekang oleh tahun. Pasti bisa dipakai oleh banyak generasi. Dari kakak ke adik, dari adik ke anak-anak, ke tetangga dst. Insha Allah bermanfaat sebagai pegangan.
-Sekian-

Ini penampakanku sebelum mulai bekerja. Dress code: batik. Lokasi: Fair di Aula Timur- ITB hari pertama.

        

Thursday, April 18, 2013

Simbiosis mutualisma-antara aku, suamiku dan karir di rumah

Tidak mudah melepaskan atribut sebagai wanita karir.

                    Secretary Using A Telephone In Office Royalty Free Stock Photography - Image: 10745197

"Yang benar saja! Kamu, mau berhenti berkarir? Dijamin mission imposible!" Masih terngiang-ngiang ejekan bersahabat dari beberapa teman di kantor lama. Padahal ejekan itu mencuat tujuh tahun yang lalu.

Dan aku tetap melepaskan mahkota sebagai seorang wanita karir, demi mengikuti sunnah Rasulullah saw menjadi wanita rumahan. Mengurus suami dan buah hati.

                             Mom, Kids And Their Laundry Stock Photography - Image: 48772

Menjadi wanita rumahan, tidak bekerja, tidak berpenghasilan, ternyata beraaat sekali. Di awal-awal berumah tangga, sering sekali kondisi ini jadi pelatuk pemicu pertengkaran. Bukan itu saja, suamiku yang pola kerjanya seperti orang Jepang (nggak weekday nggak weekend harus bekerja). Sedangkan aku? Hanya bengong di rumah. 'Hanya' mengasuh satu bayi yang lahir tahun 2006.

Meski pun akhirnya lahir bayi ke-2, tetap saja masalah tidak bekerja dan tidak berpenghasilan itu bikin stres hubunganku dan suami.

Akhirnya, aku mulai mendua. Tetapi bukan dengan perjaka atau pun duda. Aku mendua dengan 'pekerjaan'.

                                       Job Hunt Royalty Free Stock Photos - Image: 15761548


Sebenarnya sangat mudah bagiku mendapatkan kembali pekerjaan. Allah swt merahmatiku dengan kemampuan berbahasa Jepang. Tujuh tahun hidup di Jepang, sampai lafal 'R' ku jadi cadel. Benar-benar jadi lidahnya orang Jepang.

Pekerjaan mulai masuk satu per satu. Jaman sekarang canggihnya luar biasa. Dengan satu komputer butut pun, asal ada koneksi internet, bisa bekerja secara online.


                                          Online business deal Stock Photography


Karir sebagai penerjemah bahasa Jepang, telah memudahkan langkahku mendapat kembali rejeki dari jerih payahku sendiri. Tetapi, ternyata di situlah mulai semua adegan demi adegan menegangkan terjadi.

Bekerja di rumah, tadinya kupikir gampang dan mudah diatur. Ternyata, hei hei, ney ney, sulit bo! Apalagi yang berkaitan dengan terjemahan. Ada deadline. Beda dengan pekerjaan rumah tangga yang nggak ada deadline.

Coba deh ingat-ingat. Para emaks dan bapaks, sedang lelapnya tidur, si baby meraung-raung karena pup. Sambil kleyeng-kleyeng ngantuk, kita ganti deh popok yang bau ne! *hihihi.

Jam tidur yang pada dasarnya sudah kurang, makin berkurang dengan pekerjaan sebagai penerjemah. Pernah suatu kali, aku menerima order terjemahan sebesar 25 juta rupiah. Maklum, aku waktu itu masih tinggal di Jepang. Rate per lembar 100 x lipat dari Indonesia.

Tentu saja aku ambil. Mosok ditolak, rugi dong.
Ternyata, ketika mulai berjalan, waktu mengetik itu TIDAK ADA! Baru ngetik satu halaman, bayiku sudah nangis lapar. Terpaksa deh slonjoran sambil memberi ASI. Dan...bablas tidur.

Aduuh rasanya menyesal sekali. Terbuang sudah satu hari pertama. Setiap kali menerjemah, aku biasa pasang target 10 halaman/hari. Tapi, perhitungan itu sebenarnya berlaku ketika aku masih single. Kupikir, target seperti itu masih tetap eksis meski pun sudah berbuntut.

Maka mulailah perjuangan mendapatkan 'waktu' menerjemah dimulai, saudara-saudara.

Tadinya kupikir, bisa membagi waktu dengan baik. Antara mengurus anak, menservis suami dan menerjemah. Tapi ternyata sulit sekali. Wajah kusut, kepala pusing. Rambut jarang tersentuh sisir. Bawaan bete melulu. Sasarannya ya suamiku. Kenapa tidak ada waktu mengurus anak, kan aku harus mengetik, bla...bla...

Target sebulan bisa kelar terjemahan 25 juta itu, ternyata molor plus 1 minggu. Itu karena aku tumbang keseringan bergadang. Biasanya aku mulai memaksa mata melototi si komputer jam 9 atau 10 malam. Waduuh, itu kan waktu paling nikmat untuk meluruskan syaraf-syaraf yang tegang seharian. Ini malah mulai bersenandung ala Rhoma Irama. "Begadang mari begadang-aang..."

                                          Woman Tired Stock Photo - Image: 10958640

Asli, tersiksa banget deh. Klien juga tidak respek, meski pun uang 25 juta itu masuk ke rekening. Ujung-ujungnya tidak ada lagi order yang masuk sejak itu dari si klien. *HIKS

Seiring waktu, anakku juga bertambah lagi. Total sudah 3. Aku pun belajar dewasa. Memilah, mana yang diprioritaskan dan mana yang dinomorduakan. Setelah beranak, terkadang suami saja jadi prioritas nomor dua. Dari bangun tidur, teriakan "Bunda...Bunda, maunya sama Bunda". Sampai menjelang bed-time pun, rebutan Ibu. Itu Bapak kalian nganggur, attaaack! Tetep saja sama Bunda. *Hadeuuh. Ini konsekwensi ibu di rumah loh ya. Anak jadi apet lengket seperti permen karet. Sesuatu yang patut disyukuri.

Akhirnya, aku mengalah. Jam terbang menerjemah diatur ulang. Terkadang banyak yang ditolak. Paling-paling dibuat strategi, bekerja hanya seminggu, tetapi pendapatan sekelas manajer di Jakarta deh. Pasang target minimal 10 juta sebulan. Insha Allah, semuanya bisa diperoleh kalau Allah swt berkehendak.

Sekarang, aku masih tetap mendua. Aku, suamiku, dan si pekerjaan sebagai freelance interpreter/translator bahasa Jepang. Suamiku semakin memberi peluang. Dia sangat mau mengambil alih tugas baby sit para bocah yang 'mother complex' semua. Asalkan, dengan 1 syarat, setiap ada tawaran pekerjaan kepadaku, semuanya didiskusikan dengan suami. Cucok nggak jadwal alih peran. Kalau tabrakan, ya aku yang ngalah. Meski pun nilai order, bisa beli emas 10 gram ( x 560 ribu/gram).

Sabar...sabar...rejeki tak kemana. Menjaga anak, mengurus suami tetap tugas super mulia. Tak banyak para wanita yang memperolehnya.

Satu hal yang membuatku ingin lebih profesional dalam bekerja adalah menyediakan 'office room' di rumah. Alhamdulillah terwujud. Di situlah aku berjibaku saban malam menyelesaikan order. Juga mengonsep cerita dengan serius. Di ruang inilah aku menyimpan segudang cita-cita. Membuka usaha terjemahan, trade dengan pihak Jepang. Hanya dengan satu komputer dan printer.

                                                     Office Room Royalty Free Stock Photo - Image: 17435195

Aku, suamiku dan si pekerjaan, mungkin hubungan segitiga. Tetapi, insha Allah hubungan yang sehat dan saling menyemangati.

-apa kisahmu kawan?

MEMBANGKITKAN PASSION MENULIS YANG KADUNG BERKARAT

Jalan hidup manusia benar-benar penuh rahasia. Tapi, kalau kita peka memikirkan, merasakan dan memahaminya, Allah swt ternyata sudah memberi benang merah.

Tahun 1985-an, ketika dakyu ini masih berseragam SMP, punya hobi yang namanya MENULIS DIARY. Punya DIARY sampai dua buku, dua-dua berbentuk agenda berlogo POS & GIRO. Eh, itu bukan perusahaanku, ya iya dong, kan masih seragam putih biru gelap. Masih unyu dan lugu. Itu agenda bekas punya Papaku yang pegawai Pos dan Giro.

Aku banyak menulis. Entah berapa puluh judul. Tapi semuanya tidak pernah selesai. *Tuh kan ketahuan, kalau menulis tidak pakai ilmu, semuanya menggantung. hihihi.

Mungkin karena aku kan waktu itu ABeGe. Banyak gaulnya. Baru nulis selembar, udah pengen nulis yang lain. Serabutan banget dah!

Tapi ya, dari sekian puluh cerita tak kelar itu ada satu dua yang kukirim ke media. Dan eng ing eng, naskah pertama terbit di Majalah (terkenal dan berkelas untuk jamannya) ANITA CEMERLANG. Judulnya? Ya ampun, dah lupa atuh!

Kemudian ketagihan mengirim cerita, lantaran honor dimuatnya cerpenku itu sejumlah Rp. 46.000. Jaman itu banyak banget. Anak SMP punya honor pertama yang diterima lewat wesel Pos. Gimana nggak jingkrak-jingrak. *tambah histeris dikit.

Lalu, si Abege ini beranjak dewasa. Tau-tau udah jadi mahasiswa. Punya pacar, marahan, baikan lagi, marahan lagi. Begitu terus. Semua ceritanya dikumpulin dalam si dua diary tadi. Tapi sedihnya, pas putus beneran dari si cowok, itu diary nggak kembali. Entah ngilang di mana? Suudon, nitip ke pacar, terus ngilang seiiring cinta dihati. *cihuy bombay

Tahun 2009, seorang rekan senasib dan sepenanggungan di negeri orang, mengajakku untuk ikut milis FLP cabang Jepang. Mau tak mau nyebur bebas deh ke kolam yang berisi para dayang yang mumpuni dan punya interest di bidang kepenulisan.

Mayan...meski pun sambil ogah-ogahan, karena passion menulis sudah berkarat, bermuncullanlah beberapa karya. Sebagai berikut:


                   
Photo: Sebagian karya yang memuat tulisanku selama ini                                    

Tapi ini semua masih berbentuk antologi. Sebagian berpendapat, meski pun 100 punya buku, kalau masih bertajuk antologi, belum bisa diperhitungkan.

Pertama kupikir, iya juga kali ya. Jika berselancar di facebook, banyak sekali orang-orang yang berteman denganku-meski pun tidak pernah bertemu muka, kadang tidak pernah berkomunikasi dengan serius- punya buku SOLO. Karyanya sendiri. Dari halaman 1-200 sekian, itu buah pemikirannya sendiri. Dipoles oleh editor profesional, lalu diterbitkan oleh penerbit yang cukup punya nama atau yang masih kecil.

Terus terang aku keder.

Sejak tahun 2011 ke 2012, resolusiku harus punya 1 buku SOLO. Entah itu novel, buku novel anak, buku pict book anak, atau buku-buku inspiratif. Nyatanya hingga tahun 2013, tidak satu pun yang nongol. Yang nongol, antologi lagi antologi lagi.

Dibilang tidak berusaha, asli aku berusaha! Satu dua karya kukirim ke lomba-lomba. Tapi mungkin disinilah kelemahanku. Kalau jumlah tulisan maksimal 10 halaman, alhamdulillah banyak yang lolos. Bahkan membuahkan hadiah. Tetapi yang ratusan halaman, mabok deh.

Ada 3 naskah nanggur di rumah. Bukannya tidak mau dirolling ke media/penerbit lain. Tetapi, aku merasa perlu untuk belajar memahami, KENAPA NASKAH INI TIDAK NYANGKUT?

Perlu intropeksi diri...jyeee.

Tapi sepertinya masa intropeksi diri kelamaan. Masa perenungan harus terinterupsi oleh urusan menservis 3 buah hati, mengurus usaha kos-kosanku, tentu saja menyenangkan hati suami. Ada beberapa hal lain yang membutuhkan perhatian dan waktu luangku, yakni menerjemah order dokumen dari beberapa perusahaan, dll.

Usaha dan nawaitu untuk terus belajar, menggali potensi sendiri, tidak akan berhenti sampai di sini. Dipostingan berikutnya, aku mau coba cerita, apa yang menyebabkan naskahku itu tidak menarik perhatian penerbit. Siapa tahu ada dari teman-teman yang bernasib sama.

Begitu ya, kembali ke obyek terjemahan nih.

Tuesday, April 16, 2013

Alma, Debut jadi Dubber

Halo teman-teman yang sedang enjoy di tempatnya masing-masing,

http://sphotos-e.ak.fbcdn.net/hphotos-ak-ash3/c37.0.403.403/p403x403/539591_10151539149709446_1263739110_n.jpg Alma

Baru-baru ini Allah swt memberikan kebahagiaan baru dalam keluarga kami. Sulung kami, Alma N.F (6,5 thn) terpilih menjadi pengisi suara pada sebuah perusahaan pencipta game edukasi. Pure produksi Indonesia gitu deh.

Ini profile perusahaan itu:
http://www.akalinteraktif.com/home/beranda

Atau ini sample produk mereka:
http://www.youtube.com/watch?v=gnR_zZum28M&noredirect=1

Ada yang menarik di balik cerita hingga Alma terpilih.

Tahun 2011, aku ikut kelas training kepenulisan oleh Jonru Ginting. Dia penulis sekaligus trainer kepenulisan. Cukup terkenal di dunia itu.

Waktu itu aku sedang hamil anak ke-3, dan perutku lumayan membuncit. Sebenarnya agak malu ikut kelas itu, karena pesertanya kalau nggak mahasiswa, ya anak ABG alias anak SMA. Peserta paling muda itu SD kelas 6, sedangkan paling tua seorang pria yang ngakunya sudah menelorkan dua buah buku.

Tapi karena dasar sifatku yang 'nggak tahu diri' (hihihi), setiap kali diberi kesempatan bertanya, hamil juga teteep aja ngacungnya paling tinggi dan paling sering. Mungkin ada kali ya yang sampai sebal melihat emak hamil satu ini nanya melulu. Itu memang kebiasaanku. Kalau bisa nanya, kenapa tidak bertanya? Rugi dong sudah spent uang 100 ribu, plus hanya 3 jam. Kapan lagi ikut training seperti ini. Ya nggak?

Ternyata mengacung keseringan itu berkah, Mak!

Sebagai penanya paling sering (ampe ditolak panitia dan dicuekin), aku dapat hadiah game interaktif berjudul "Menjadi Anak Baik Yuk Seperti Andi" (seri anak mandiri). Juga dua buah karyanya Jonru (bukunya aku incar sejak dulu, tapi berhubung mahal nggak jadi beli. Ealah, rejeki Allah swt itu tidak kemana ya :p )

Ini sampelnya: http://www.youtube.com/watch?NR=1&feature=endscreen&v=HqGZJw2EioY

Nah, dengan hati riang gembira aku serahkan VCD game itu kepada anak sulungku, Alma dan si tengah Tiara. Waktu itu mereka masih berusia sekitar 4 dan 2 tahunan. Percaya tidak, kalau anak-anak langsung SUKA sama game itu.

Isinya sangat mendidik. Suara Andi (tokoh utama) sangat membekas di telingaku. Hingga bertahun-tahun, dan setiap ada rejeki, anak-anak pasti kubelikan game seri Andi yang lain.

Sempat aku membandingkan produk senada dari perusahaan berbeda, masing-masing punya kelebihan. Tetapi, kenapa ya suara Andi itu sangat mudah menyerap di kepalaku yang sudah emak-emak begini. Selain itu isi gamenya menarik, berkaitan dengan kehidupan anak Indonesia.
Pasti disitu kelebihannya hingga anak-anakku suka.

Apakah para emak pernah melihat game ini?

Menyambung cerita si sulung yang kini bekerja untuk perusahaan AKAL INTERAKTIF.

Kali ini mereka memasang iklan, melalui FB Akal Interaktif seperti ini


Aku ditag oleh Teh Tethy Ezokanzo (penulis buku-buku anak), karena dia kenal dengan anak-anakku.

Melihat persyaratannya, walah kok CUCOK, pikirku!
Domisili di Bandung, usia maks 7 tahun dan yang utamanya hapal doa-doa/surat-surat.

Kebetulan anak-anak memang sudah banyak hapalan doanya. Akhirnya aku coba ajak Alma dan Tiara untuk ikutan audisi.

Caranya,
1. Aku tidak memberikan gambaran detil tentang audisi ini kepada keduanya. Aku anggap kami akan pergi ke sebuah tempat baru dan akan bertemu orang-orang baru. Dengan begitu, aku yakin keduanya tidak jadi nervous.
2. Memutuskan untuk membawa anak audisi di hari yang berlainan. Ini karena aku ingin menghindari anak bete karena kelamaan menunggu. Atau supaya, mereka tidak melihat apa yang dilakukan saudaranya. Aku khawatir akan menimbulkan rasa takut, malu bahkan mogok audisi.
 *setiap orangtua, terutama Ibu pasti hapal betul sifat anak-anak mereka. 
* Alma sifatnya pendiam, pemalu tapi penyerap dan haus ilmu apa pun. Tiara (si tengah), out of box girl, ceria, slenge'an, komedian sejati tapi mau belajar banyak hal serius jika diarahkan dengan telaten. sedangkan anak bungsuku, satu-satunya cowok, gabungan sifat Alma dan Tiara. Heboh, tapi penyerap ilmu yang baik.

Setelah membuat appoitment dengan pihak manajemen AKAL,  akhirnya yang pertama kali ikut audisi adalah Tiara (4,5 thn).
                                     
                                     Tiara


Sifatnya yang periang, langsung merebut hati pengarah suara (Mbak Peni) dan Mas Nunu (yang merekam). Lancarlah urusan rekaman suara Tiara.

Pada hari Tiara audisi, sebenarnya Alma dalam kondisi sakit. Jadi memang rencanaku dan kehendak Allah swt matching ya.

Besoknya Alma mau diajak audisi. Subhanallah, ternyata sifatnya yang haus ilmu berhasil mengalahkan rasa sakit yang dideritanya. Demamnya hilang seketika. Ketika audisi, Alma tampak nervous. Tangannya memegang kursi, dan wajahnya juga tegang. Untung Mbak Peni baik sekali dan pintar mengarahkan. Dia sangat memperhatikan betul mood Alma. Aku yang berada di dalam ruangan (soalnya mendokumentasikan kegiatan Alma), ampe deg-degan. Berasa hamil dan sebentar lagi akan melahirkan. Keringat dingin mengucur deras di punggungku. Doa tak lepas dari bibirku buat Alma.

(ini foto Alma pas audisi)


Berhubung anak-anak memang suka game Andi, Mbak Peni juga tampak senang. At least, produk apa yang diproduksi di Akal Interaktif ini mereka sudah punya bayangan.

Yang paling membuat keduanya heboh, selesai audisi masing-masing diberi reward VCD baru yang belum kami punya. Pulang ke rumah, langsung deh dimainkan.

Dari hasil pantauanku habis rekaman, jangan-jangan Tiara yang berpotensi besar lolos. Dia kan super ceria, nggak malu-malu (tapi dikit malu-maluin persis kek emaknya hahaha). Sedangkan Alma, nervousnya terlihat. Nada suaranya juga cenderung datar, meski pun tonenya Mbak Peni kadang tinggi kadang rendah. Tapi aku sangat menghargai usaha kedua buah hati yang masih terbilang kecil.

  • Berhadapan dengan orang baik, itu pasti perlu keberanian.
  • Menyimak apa yang dikatakan tutor mereka, lalu mereka ingat dan sampaikan lagi, ini juga perlu konsentrasi tinggi.

Dua hal itu terlewati sesuai dengan daya upaya masing-masing, dan aku acungin jempol buat mereka.

Ternyata, kemarin (tgl 14/4) jadi momen penting buat kehidupan Alma. Dia berhasil terpilih sebagai one and the only dubber (dari banyak peserta audisi) baru buat program Akal Interaktif. Yang membahagiakanku, isi game mereka banyak berisi dakwah seperti hapalan doa.

Alma dinilai pas baik dari kategori suara mau pun pelafalan yang terang/clear.
Sedangkan Tiara, disukai Mbak Peni (personally), tetapi berhubung lafal 'R' nya masih cadel, jadi mereka menunggu Tiara lebih besar.

Kata-kata yang membesarkan hatiku,"Kalau Alma sudah pensiun dari pengisian suara, Tiara akan maju."

Subhanallah. Semoga ini jadi langkah awal anak-anak masuk ke dunia baru yang bisa dipakai sebagai media mendakwah.

Mohon doanya buat Alma.

Thursday, April 11, 2013

BICARA TENTANG UANG, BERARTI BICARA TENTANG KEPERCAYAAN (part-3)

Trust Royalty Free Stock Image
Masih teringat pada suatu hari, di tahun 1998. Setahun setelah aku memulai hidup sebagai pelajar setengah TKI di Jepang.

Waktu itu, aku, sempai (seniorku) dan adik seniorku yang baru datang ke Jepang, bertiga mengunjungi rumah orangtua angkatnya.

Sesampainya di sana, kami disambut sangat hangat oleh tuan rumah. Sebut saja Yamada-san. Yamada-san sudah berusia 60 tahun. Dulu, dia pernah tinggal di Indonesia. Karena itulah dia mau menjadi orangtua angkat bagi adik seniorku. Selain itu, dulu (katanya) si sempai sangat membantunya selama di Indonesia itu. Jadi, kesimpulan ini bentuk balas budi Yamada-san kepada sempaiku.

Acara ngobrol ringan kami tiba-tiba sedikit terusik ketika sang istri muncul dengan tiga cangkir teh hijau Jepang. Sebenarnya si Ibu tidak bermaksud duduk bersama dengan kami. Mungkin ini juga semacam norma dan etika, bahwa istri Jepang jangan ikut campur urusan suami.

Tetapi, sepertinya si Ibu ingin menyampaikan sesuatu yang sudah dipendamnya lama. Tiba-tiba saja dia (yang tadinya sudah melangkah ke arah dalam rumah), berbalik arah dan duduk. Napan tetap dipegangnya, lalu dengan ketus dia berkata," Kalau menjadi orangtua angkat saja tidak apa-apa. Tetapi, tolong jangan pinjam uang kepada kami. Kami masih hidup!"

Accaaaahhh....
Jelegur!
Jebret.
Mati lampu daaah.

Kami bertiga tidak tahu harus berkata apa. Ada angin dingin menyelusup ke lubuk hati kami. Yamada-san jadi salah tingkah. Tetapi tidak membantah atau merevisi perkataan istrinya.

Dari situlah aku tahu, bahwa bicara uang, pasti berkaitan dengan kepercayaan. Orang Jepang memang bukan masyarakat yang mudah percaya, apalagi dengan orang asing. Kalau mereka memang percaya, pasti negara mereka akan seperti Amerika, atau seperti Indonesia yang heterogen isi penduduknya.

Terlepas dari masalah itu, aku ingat bahwa ada ajaran Rasulullah saw tentang tata cara meminjam uang. Bahwa:
1. Memberikan pinjaman disertai dengan keikhlasan,
2. Memberikan pinjaman dengan hati yang riang dan rela.
3. Pinjaman harus bersumber dari harta yang halal.
4. Pinjaman harus dicatat.
5. Pemberi pinjaman harus sabar menunggu kembalinya hutang. Sebaliknya, si peminjam jangan menunda-nunda pembayaran. Apalagi sengaja melupakan bahwa dia sedang berhutang. Pemberi pinjaman jangan menekan si penghutang apabila kondisinya tidak longgar/sedang kesusahan.
(sumber:http://islamquest.net/id/archive/question/fa15312)


Yang paling sering kita lupakan tentunya no-3. Mencatat! Mencatat!

(sekian)

     
 

BICARA TENTANG UANG, BERARTI BICARA TENTANG KEPERCAYAAN (part-2)

Aku terusin cerita tentang pinjam uang dan orang Jepang ya.

Kan dicerita sebelumnya, aku bilang orang Jepang paling anti minjemin uang sama orang lain. Terkadang dengan sesama saudara saja mereka sangat-sangat perhitungan, apalagi sama orang asing. Siape elo?

Pada akhir cerita, aku juga udah kisahkan bahwa aku perlu uang untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat S-2. Karena tidak ada, aku cari-cari. Ketemulah sebuah tempat peminjaman yang memang diperuntukan bagi mahasiswa (tidak mesti orang asing juga, mahasiswa Jepang sekali pun boleh meminjam). Dari situ aku dapat 100,000 yen (= 10 juta rupiah). Dengan kesepakatan, aku harus mengembalikannya dengan cara mencicil 10,000 yen (= 1 juta rupiah) per bulan. Alhamdulillah amanah itu aku pegang teguh. Sesuai waktu yang ditentukan aku berhasil mengembalikannya.

Di sini aku melihat bahwa mereka bisa mempercayaiku. Sayangnya tempat itu sudah ditutup. Jadi sumber pinjam uang legal dan dilindungan Pemkot tidak ada lagi.

Uang DP 100,000 yen tadi sudah kubayarkan. Tetapi masalahnya tidak hanya sampai di situ. Perlu sekitar 300,000 yen (= 30 juta yen), untuk pelunasan biaya kuliah semester pertama.

Adeeeuh, kepalaku pusing lagi.
Entah mengapa aku teringat WDA (wakil dekan) Bidang Pendidikan. Aku ingat betul, ketika tahun 1999 jebol masuk ke Universitas Kyoto Seika di Kyoto, aku dan beberapa mahasiswa asing lainnya disambut oleh WDA ini. Beliau baik sekali.

Rambutnya seperti pelawak legendaris ATENG. Waduh nggak tahu?Kebanyakan nonton Sule sih.

http://id.wikipedia.org/wiki/Ateng

 Nah WDA itu aku dekati. Aku sekalian curhat. Sebenarnya membicarakan masalah pinjam uang, seperti mimpi di siang bolong. Pasti tidak akan semudah itu. Atau benar-benar tidak masuk akal. Meminjamkan uang sebanyak itu ke mahasiswa asing yang hidupnya bertumpu pada pekerjaan part-time. Tidak ada alasan buatnya meminjamkanku. Yakin deh, YAKIN!

Aku hopeless banget waktu itu. Apalagi setelah curhat tidak punya uang untuk bayar kuliah, beliau juga tidak merespon apa pun. Ya sutralah...

Kutatap bayangan masa depanku yang suram.

Ciiittt...
Tapi, dua minggu kemudian dia memanggilku. Dengan menandatangani kontrak bermaterei, aku dipinjamkan uang sebanyak itu. Aku takjub sekali. Tetapi dia mewanti-wanti.

"ちゃんと返済してね。すこしずつでもいいから、がんばってください。内の家内の許しであなたにお金を貸してあげることができる。”

"Jangan lupa dikembalikan ya. Sedikit demi sedikit juga tidak apa-apa, selalu bersemangat. Saya bisa memberi pinjaman seijin istri saya."

Waaa, aku menangis terharu. Masa depan yang suram itu, langsung cerah seketika. Persis ramalan cuaca.

Berhubung Pak WDA menyebut kata 'seijin istrinya', efeknya memang a little bit menakutkanku. Itu artinya aku harus singsingkan lengan, ngebecak sekali pun pasti kulakoni buat bayar pinjaman itu.

Entah benar atau tidak, tapi ini aku dengar langsung dari pria-pria Jepang, kolegaku. Bahwa, keuangan rumah tangga mereka dipegang oleh istri. Semua gaji harus disetor ke istri, nanti istri yang bagi. Ada istilah 'okozukai' (uang jajan) buat para suami. Para suami diberi uang jajan?

Beneran! Dijatah. Apalagi soal peminjaman uang kepada orang lain ya! Pasti, para istrinya keburu bertanduk dan suuzon duluan deh.

Yang pasti, menurutku bukan berarti para istri jahat. Justru mereka harus putar otak untuk mengatur keuangan antara pengeluaran dan gaji para suami.

Tapi, para suami dapat uang jajan...uh, uh, uh, kek anak kecil aja. Para pria Indonesia mana mau diperlakukan begitu ya.

(bersambung)