Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba: FEMINA FOODLOVERS Blog Competition 2013
World Street Food Congress 2013, Femina FoodLovers, Femina.
http://www.femina.co.id/blog.competition#.UX3VOdjKK_A
PKL ADALAH PATNERNYA PARA BUNDA
Oleh:
Ellovianty Nine
Pedagang
kaki lima seperti tak mengenal ‘low bat’. Dalam kurun waktu 24 jam sehari,
mereka selalu berada di jalanan. Silih berganti melayani pembeli. Seperti toko
24 jam saja.
Ini
yang sangat membantu para ibu rumah tangga, seperti diriku. Ada kalanya,
pagi-pagi urusan memandikan anak-anak sudah menguras enerji. Atau ketika sibuk
urusan di luar rumah, dalam perjalanan pulang selalu ada buah tangan yang bisa
dibeli di pinggir jalan.
Terkadang
bingung, mau masak apa karena bosan tiap hari masak. Tinggal main ke
tempat-tempat yang dihuni banyak PKL. Susuri saja satu per satu, pasti dapat
ide untuk dibawa pulang.
Bukan
berarti ibu rumah tangga tidak mau masak. Tapi, para bunda kan manusia juga.
Pasti akan mengalami sakit, atau punya pekerjaan lain yang menguras enerjinya
seharian, sehingga tidak sempat memasak.
Dengan
adanya PKL, aku jadi sangat terbantu. Lontong sayur, bubur, nasi kuning, adalah
menu sarapan favorit anggota keluarga di kala ‘urgent’. Aku tinggal bertanya,
mau makan apa? Setiap anggota keluarga pasti punya keinginan berbeda. Setelah
mengolektif pesanan, aku menggandeng tangan si bungsu untuk belanja ke PKL
terdekat. Sedangkan suamiku akan memback-up
kepergianku dengan memandikan anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. See, good collaboration, kan?
Dengan
menenteng aneka makanan kembali ke rumah, wajah para anggota keluarga jadi
ceria. Ah…aku pun bisa bernapas lega karena tinggal menyuapi anak-anak. Waktu
sempit, masak tak sempat, namun suami dan anak-anak tetap perlu dipikirkan
sarapan paginya. Solusi mengatasi masa-masa urgent ini, ya memang belanja ke
pedagang kaki lima.
Selain
ibu rumah tangga, keberadaan PKL sangat membantu para bujangan, para anak kos,
dan wanita-wanita bekerja.
Hasil
bincang-bincang dengan banyak pedagang kaki lima langganan, kebanyakan mereka
bercerita bahwa persiapan dimulai jam tiga dini hari. Ada yang baru pergi
belanja ke pasar tradisional. Ada yang sudah mulai meracik bahan makanan.
Setelah siap, jam empat sudah ada yang pergi ke tempat mereka biasa mangkal.
Membuka tenda, menyiapkan gas dan kompor, dan menyusun peralatan makan yang
diperlukan.
Makanan
biasanya dibawa dari rumah dalam keadaan sedang panas-panasnya. Fresh from the
oven, begitulah. Sehingga ketika pembeli pertama muncul, santapan bisa
disajikan dalam keadaan mengepul. Tidak sedikit pedagang kaki lima ini berusia
lanjut dan pasangan suami istri.
Ketika
aku masih bujangan dan bekerja di bilangan Thamrin, Jakarta, ada satu pasutri
tua yang menjajakan gado-gado. Rasanya yang lezat, membuat antrian panjang.
Padahal mereka tidak punya tempat khusus untuk menampung para pembeli.
Misalnya, kursi dan meja panjang. Hanya ada kursi plastik berwarna merah yang
sanggup mereka sediakan. Mereka mangkal di salah satu sudut selokan yang di
atasnya ada jembatan beralas semen.
Pasti
terbayang kan makan ditemani lalat, tikus-tikus yang melintas dan sibuk mencuri
remah-remah yang jatuh dari pembeli. Setiap menerima pesanan dalam piring
sederhana, aku makan dengan lahap. Karena memang enak sekali. Campuran
sayurannya sangat sederhana, kol, toge dan bayam. Memperlihatkan bahwa mereka
hanya sanggup membeli tiga sayuran itu. Tapi kalau dipikir-pikir yang membuat
gado-gado mereka enak adalah rasa cinta yang masuk ketika si bapak yang sudah
tua mengulek bumbunya. Ditemani sang istri yang tak kalah tua, tetapi memiliki
tangan yang lincah menata potongan sayur dan lontong di piring-piring.
Pernah
suatu kali aku tak kebagian gado-gado.
“Maaf
Neng, hari ini laku sekali. Alhamdulillah. “
“Yaa…”
Aku dan beberapa teman sekantor bernada sumbang. Si Bapak dan Ibu malah
tertawa.
Meski
pun aku manyun, tetapi punya harapan bahwa besok bisa makan lagi. Jajanan sehat
dan mengenyangkan. Apalagi buat wanita. Penting makan sayur dan sedikit
mengonsumsi karbohidrat.
“Bapak
dan Ibu tinggal dekat sini?” tanyaku iseng. Maklum terlanjur datang dengan
penuh harapan tapi tidak kebagian.
“Jauh,
Neng.” Si Ibu menjawab.
“Di
mana?”
“Di
Slipi!”
Deg!
Aku kaget. Aku tahu daerah Slipi. Tapi terus terang tak pernah menghitung
berapa kilometer jauhnya dari Thamrin. Kalau naik bus, bisa 20 menit lebih baru
sampai.
“Gerobaknya
di simpan di mana, Pak?” tanya kami antusias.
“Didorong.”
“Pulang-pergi?”
tanyaku sambil mendelik.
Mereka
terkekeh sambil mengangguk.
“Habis pulang harus belanja sayuran buat besok,”
kata si Bapak.
Aku
benar-benar terpana. Takjub membayangkan mereka mendorong gerobak yang
tampak berat, berkilo-kilo meter. Apalagi dengan kondisi jalanan Jakarta yang
jauh dari kata ‘bersahabat’.
Aku
yakin bahwa gado-gadonya memang nikmat karena kerja keras mereka mendorong
gerobak ke Thamrin sejak subuh. Lalu kembali mendorong gerobak itu ke Slipi
dengan beratap teriknya sinar matahari. Rahmat Allah swt ada di dalam usaha
mereka itu. Apalagi mereka menyajikan bumbu yang langsung diulek di tempat.
Terasa segar, tidak seperti bumbu yang sudah dibuat tengah malam atau mungkin
hanya dipanaskan sisa-sisa kemarin.
4 comments:
perjuangan seorang pedagang itu mb. semuanya di lakukan demi menafkahi anak istri. memudahkan pembeli juga biar gak masak hehe
aku juga seneng jajan klo lagi males masa, ada PKL jadi terbantu sekali, tinggal beli langsung dimaka tanpa repot masak (kan lagi males masak) :D
iya bener banget. ada PKL yang berdagang sampai 20 tahun di tempat yang sama. Takjub deh.
PKL ga ada matinye deh, dicari terus terutama sama Satpol PP..hehe.
Knp mrk bisa bertahan dan tetap maunya jualan di pinggir jalan? karena lebih memudahkan pembeli terutama dlm kondisi darurat.
makanan PKL itu banyak juga yg enak2 loh :)
Post a Comment