Sunday, June 29, 2008

Tersipu Malu

Hari minggu adalah "family day" untuk keluarga kecil kami. Ada "rule" yang baru saja diputuskan secara sadar, bahwa seluruh anggota keluarga harus mencurahkan perhatian "just for us". Bukan untuk hal lain, bukan untuk orang lain. Mencoba membunuh ego pribadi atas ketertarikan terhadap hal-hal lain yang tidak ada urusannya dengan "refreshing" bersama anggota keluarga.

Bagiku hari ini sangat "special." Istimewa karena keinginan lama yang selalu tertahan untuk membawa putri kami- Alma ke kebun binatang, akhirnya terwujud juga. Lebih istimewa lagi karena ide ini tiba-tiba diajukan oleh akang, suamiku tercinta.

Sebenarnya sehari sebelum hari H, kondisi badanku sedang tidak menentu. Tapi begitu mendengar ajakannya, entah darimana muncul banyak enerji baru. Teringat bahwa hampir sudah sebulan ini tidak ada "kebersamaan" yang sebenarnya. Kebersamaan dalam arti penyatuan hati dan pikiran. Kesibukan suamiku begitu padat, bahkan sebulan terakhir jiwa dan raganya terbang hingga ke negeri lain, meninggalkan istri dan anak sementara di sini. Aku merasa tali kasih kami sempat merenggang, bukan karena tak cinta, tapi karena waktu dan jarak begitu lama memisahkan kami. Dan aku menuntutnya untuk meremake "pure family day" di hari minggu. Khusus di hari minggu, tidak menuntutnya di hari lain.
Sejak keluar rumah, si sulung kami sudah lengket dengan sang ayah. Tangan mungilnya terus menerus bergelayut di leher ayah tercinta. Jika tubuh ayahnya menghilang dari bola matanya yang bersemangat itu, maka dia akan berkata, "ayah? matte matte yo!" (ayah? tunggu, tunggu dong!)

Selama menghabiskan waktu di kebun binatang pun, sang ayah adalah yang utama bagi neneng kecil kami. Pemandangan yang membuatku luar biasa bahagia. Keadaan yang membuat suamiku berlega hati. Begitu banyak versi cerita yang pernah kami dengar dari seorang ayah yang lama berpisah dengan si buah hatinya. "Anakku nggak kenal ama aku, nih!" atau "Aku dipanggil 'Oom' oleh anakku sendiri." Ini yang suamiku takuti. Bahkan suamiku pun mewanti-wanti diriku untuk selalu memperlihatkan fotonya kepada buah hati kami, ketika selama berhari-hari dia harus meninggalkan kami ke luar kota/negeri.
Misi Family Day kami menurutku mencapai hasil yang baik. Menambah lembaran manis diari kehidupan kami sekeluarga. Tak hanya bagi ayah-anak, tapi juga bagiku pribadi.

Ketika jadwal hari minggu ini ditutup di sebuah restoran, begitu banyak curhat mengalir dari bibir suamiku. Dia berkata, "Akang kemarin mengirim email ke Prof. De Xi Liu." Prof ini seorang kenalan suamiku yang bekerja sebagai dosen di Pittsburg University, USA. Aku diam menyimak.
"Akang bilang ke si Prof, bahwa akang menyanggupi untuk mengirim tulisan berupa "review journal." Review journal ini direncanakan untuk dipublish di majalah Pharmacy-Amerika.
"Wah, itu berita baik, Kang. Semoga diterima ya!" sambutku dengan semangat.
"Sebenarnya ada satu lagi yang sedang akang kerjakan, yakni menulis original article hasil penelitian akang. Ini untuk diterbitkan di sebuah Jurnal Farmasi Internasional."
"Kedua jenis jurnal ini memiliki rangking tinggi,"begitu tambahan suamiku. Yang dimaksudnya 'rangking tinggi' adalah tingkat kesulitan untuk menembus jurnal itu. Jadi suamiku ini sebenarnya sedang under-pressure.
Aku tak punya kata-kata yang bijak untuk menyemangatinya. Hanya sentuhan ke jemarinya, seraya berkata," daijoubu?" (akang tak apa-apa kah?)
Suamiku berkata sambil tersenyum, " Akang merasa terpacu karena melihat Opi yang begitu berusaha keras berlatih menulis." Aku terperangah, sedikit jengah, merona jingga, salah tingkah!
"Ah, akang..." cuma itu yang bisa terucap. Sambil terkekeh suamiku melanjutkan perkataannya,
" Akang melihat Opi hampir berhari-hari mengurangi jam tidur demi menyelesaikan naskah-naskah cerpen untuk Proyek Antologi Ramadan dan Proyek Antologi Ibu. Padahal tugas Opi di rumah pun banyak. Pagi-pagi Opi dah harus bangun untuk memasak sarapan, menyiapkan bento (bekal nasi) untuk akang. Sesudah itu seharian bermain dengan Alma. Di situ akang melihat ada semangat luar biasa yang harus akang tiru."

Mendengar penuturannya yang begitu panjang, membuat tanganku mengeluarkan recehan yen. Lalu menyerahkannya kepada suamiku. Dia tertawa terbahak! Abisnya, aku kan tengsin dipuja-puji oleh suami sendiri.
Inilah makna indah yang berhasil terajut di antara kami. Menurutku, pasutri itu perlu menyediakan waktu khusus untuk saling memandang pasangannya. Menyampaikan hal-hal yang terasa di hati, namun kadang tak terungkap karena padatnya tugas keseharian. Dengan satu hari di antara seminggu saja bisa membuat bumbu pernikahan pun semakin kental, enak dan sedap untuk disantap. Itu yang aku yakini dan ingin terus aku pertahankan.

Saturday, June 14, 2008

KD Babasahan di Niagara Falls


Hubby ku ke USA, tepatnya ke kota Boston dan Pittburg pada tgl 27 Mei-5 Juni. Balik ke Jepang bawa cerita seru banget. Tentang kehidupan sebenarnya di sana, itu berdasarkan kuping kiri kuping kanan ngumpulin info dari kolega-kolega beliau.

Hubby ku dapat 2 tugas presentasi di ASGT Seminar di Boston dan di Pittburg Univ. Di sini pun banyak cerita menarik yang dibagi-bagi ke aku.

Cerita-cerita itu dipending dulu ya.

Ini foto KD dulu aja yang babasahan di Niagara Falls (dilihat dari American Side).

Monday, June 09, 2008

Diajar Bahasa Apa Mbak?

"Sehari-hari Alma ngomong pake bahasa apa nih?".

Pertanyaan ini sering banget diajukan kepada kami. Ini ada kaitannya dengan lingkungan hidup dan pendidikan bahasa bagi putri sulung kami yakni Alma Nadia Fadhilah (Alma, 18 bulan).

Ayahnya Alma: "Bahasa Indonesia dong!".

Yang nanya (orang Indonesia): "Ooo...kirain Bahasa Jepang!".

Mungkin karena Alma lahir di negeri sakura, jadi kebanyakan dari teman-teman di lingkungan kami tinggal menyangka bahwa komunikasi kami dengan Alma disampaikan dalam Bahasa Jepang.

Yang bertanya tadi merespon jawaban kami dengan nada sedikit kecewa loh. Ayahnya Alma coba balik bertanya:

"Memangnya anak anda diajar Bahasa apa?".

"Kalo Dia (si anak) Bahasa Jepang!. Bahasa Indonesia nggak pernah tuh diajarkan".

AKu yang ikut menyimak hanya tersenyum. Bagiku bukan hal aneh kalo si anak itu diajar bahasa Jepang, karena dia terlahir dari pasangan Jepang-Indonesia. Kemudian dibesarkan di lingkungan Jepang.

Suamiku mencoba meluruskan.

"Alma juga diajar bahasa Jepang kok. Ditambah satu lagi bahasa asing yakni Bahasa Inggris. Tapi bagi kami (melihat wajahku) bahasa utama buat Alma adalah Bahasa Indonesia".

"Kenapa begitu Pak?. Kan dia sekarang hidup di Jepang sini?" tanya teman kami lagi.

"Iya betul. Tapi kami melihat jauh ke depan. Anak kami belum tentu akan dibesarkan di lingkungan sini seterusnya. Alma harus mampu berkomunikasi dengan kakek-nenek, sodara-sodaranya yang hanya bisa berbahasa Indonesia. Kami nggak mau mereka yang harus bersusah payah mengerti bahasa Jepang, yang jelas bukan bahasa ibu kami".

Tiba-tiba istri si teman itu nyeletuk:

"Iya, kemarin ibu mertuaku datang (ibu suaminya yang orang Indonesia). Tapi selama hampir sebulan tinggal di sini, nggak bisa nyambung kalo ngomong sama cucunya".

Mereka terkekeh, tapi aku mengerenyit. Kasian betul si nenek, pasti kan pengen banget ngajarin ini itu ke cucunya. Sementara kendala bahasa jadi barier tipis di antara mereka.

Tapi aku setuju dengan pendapat suamiku. Tak sedikit aku melihat pasangan suami-istri WNI yang punya anak-anak cakap berbahasa Jepang. Biasanya si anak-anak memperoleh kemampuan berbahasa Jepang dari Play-Group, SD or sekolah tempat mereka bersosialisasi. Sayangnya kemampuan anak-anak itu tidak didukung oleh kemampuan setara dari para ortunya. Jadi aku pribadi sering 'jangar' kalo mendengar mereka sedang bercakap-cakap. Kemampuan bahasa Jepang si ortu yang tidak mencukupi/ amburadul tidak seimbang dengan anak-anak mereka yang gape cuap-cuap in Japanese. Yang menarik justru, para ortu lebih bisa berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing kepada anak-anak mereka. Ini mungkin karena dah kepepet. Nggak ngerti si anak ngomong apa, akhirnya si ibu or si ayah gusar lalu keluar deh bahasa daerah mereka.

Jadi ingat cerita suami baru-baru ini. Temannya yang tinggal di USA bercerita bahwa anak tunggal mereka yang hanya bisa berbahasa Inggris, sering manyun dan nggak nyambung kalo bicara dengan nenek/kakeknya dari Indonesia. Teman suamiku justru dianjurkan oleh seorang konsultan anak untuk mengajakan bahasa ibu kepada anaknya sejak dini.

*************
Aku dan suami merasa bersyukur karena dikarunia kemampuan berbahasa Jepang dan Inggris dengan baik. Aku, merasa cukup mampu menguasai Bahasa Jepang secara gramatikal sehingga kelak bisa menjaga perkembangan Alma dalam berbahasa Jepang. Sedangkan suamiku menguasai Bahasa Inggris dengan baik dan benar, dan bisa menjadi tutor anak-anak nanti dalam belajar Bahasa Inggris.

Sebenarnya aku pernah belajar Bahasa Cina selama 1 tahun. Semua buku yang berhubungan dengan bahasa ini lengkap. Aku merasa cukup gampang menguasai Bahasa Cina, mungkin pada waktu itu aku dah menguasai huruf Kanji Jepang. Walaupun tidak sama, tapi cukup membantu.
Selain itu sejak kecil aku sudah belajar mengaji, sehingga huruf-huruf Cina yang lafaznya lumayan susah bisa dikuasai dengan cepat. Kenapa?. Ternyata bunyi huruf-huruf Cina itu mirip banget ama beberapa huruf arab. Seperti bunyi 'sy..sh..za', dst. Tapi aku nggak mau gegabah ngajarin Alma or nanti adeknya berbahasa Cina. Ini karena aku tidak lagi menguasai bahasa ini.
Maksudku aku nggak mau setengah-setengah mengajarkan anak-anak bahasa asing. Di luar bahasa Jepang dan Inggris, mungkin mereka perlu dipanggilkan pengajar khusus kelak.

Bagaimana dengan bahasa Arab?. Ini pun aku tak menguasai. Yang aku kuasai adalah tajweed dalam membaca Al-Quran. Hasil menimba ilmu setahun di sini, dengan guru orang arab langsung. Plus maintenance sehari-hari yakni dibantu rajin ikut tajweed online dari salah satu grup milis muslimah se Jepang. Memodali diri dengan berbagai macam buku tajweed pun sudah terlaksana. Jadi Inshaa Allah siap bila ALma bertanya: Huruf Mad itu apa bu?. Soalnya hidup di lingkungan non-muslim seperti di sini harus tetap mampu mengajarkan agama Islam kepada anak-anak.

Terakhir, bagaimana dengan Bahasa Indonesia kami?. Nah ini nih...walaupun bahasa ibu sendiri tapi tetap harus punya ilmu dalam membimbing anak-anak nanti. . Aku lagi giat-giatnya belajar menulis, baik itu fiksi maupun non-fiksi. Ini sebagai salah satu tool aku mencoba mengerti dan mengembangkan bahasa Indonesia. Sekalian tujuan terselebung: jadi penulis bo!...hahahhahaha

Sapporo, 9 Juni 2008

Hari ini cek rutin kandungan. Kali ini aku ditemani oleh Mbak Nina, WNI yang suaminya adalah student di Hokkaido Univ. Mbak Nina ini baeee banget, pinter ngemong anak, jadi anakku-Alma pun betah lengket abis ama Nina.
Brangkat sejak jam 9 pagi, padahal badanku lagi capek banget. Ketemu Nagashima sensei seperti biasanya yang selalu dinamis. Kali ini sensei memberi aku surprise!.

Sensei: "Novi-san, rencana operasi tgl 24 Juli kan ya?. Apakah ada yang mau tachi-ai (mendampingi)?."

Aku: ????. Maksud sensei?.

Sensei: "Begini, ada kebijakan baru bahwa di rs ini akan diberlakukan ijin bagi anggota keluarga untuk menemani istri melahirkan di ruang operasi".

Aku: "Ohya!. Wah...senengnya!. Suami saya pasti senang sekali mendengarnya. Itu cita-cita dia sejak kehamilan pertama dulu. Hanya saja karena saya ceasar, jadi cita-cita melihat kelahiran anak kedunia tidak kesampaian. Rencananya suamiku hanya ingin punya anak 2 orang, jadi mungkin ini kehamilan terakhir bagiku"

Sensei dan suster pendamping geli melihat tingkahku yang kesenangan seperti anak kecil dapat mainan.

Gimana nggak seneng!. RS tempatku cek sekarang ini RS Pemerintah (bukan klinik bersalin), jadi tidak pernah ada keistimewaan bisa melihat kelahiran anak langsung, apalagi kalau sang ibu hamil akan dioperasi ceasar. Kalau lahiran alami mah biasa ya, suami/keluarga yang dipilih untuk mendampingi proses kelahiran.
Pernah sih aku baca di salah satu tabloid ibukota, bahwa Nugie (adiknya Katon Bagaskara) diijinkan merekam video kelahiran anak pertamanya yang lahir lewat proses operasi ceasar juga. Sempat mengerenyitkan kening, soalnya ruang operasikan harus steril banget. Selain itu anak yang lahir lewat operasi ceasar tidak boleh langsung didekap ibunya di ruang operasi, itu pun karena alasan kebersihan/steril.
Sensei: "Kalau Novi-san ada CD lagu favorite pun tinggal bilang aja. Ntar kita pasang biar kamu dengar selama di operasi".

Aku: "Waaah sampai segitunya sensei?. Kalau tidak salah waktu kelahiran Alma, musiknya classic. Itu juga udah cukup sensei".

Waktu lahiran Alma dulu, mana bisa mikir mau lagu apa?. Wong batinku berperang karena Alma nggak nongol-nongol ke dunia, padahal ketuban dah pecah duluan, aku dah diinduksi, 4 hari lamanya si nduk kecil ngendon betah di perutku.

Sensei: "Ehh nggak apa-apa. Jangan ragu-ragu, misalnya musik tradisional negerimu".

Aku terkekeh sambil meluk dokter wanita favoriteku ini.

Aku: "Ah nanti kalo sensei dengar musik unik, yang ada bukannya ngoperasi aku".
Sensei: "Enggak kok, saya pasti mampu konsentrasi...heheheh".


Aku: "Tapi kenapa mendadak gini sih sensei?. Maksudku, kenapa sekarang diijinkan anggota keluarga melihat proses operasi. Kan selama ini nggak boleh?. Trus sekarang ada plusnya, boleh milih lagu favorite untuk dipasang".

Sensei: "Iya, melalui rapat dengar pendapat, kami pihak rumah sakit sepakat menerapkan kebijakan baru ini dengan alasan bahwa suasana seperti itu akan memberi semangat kepada sang ibu. Juga merupakan bagian yang harus dipentingkan dan kami yakini merupakan bagian dari proses kelahiran itu sendiri".

Aku mengangguk-angguk.

Sensei: "Oya, kalau suamimu ingin merekam dengan video pun ok. Tapi bukan sampai melongok perut yang dibedah ya...hahaha...Yang direkam itu adalah timing ketika anakmu nanti diangkat keluar dari perut. Suamimu akan duduk disampingmu".

Segitu aja udah seneng sensei, nggak minta lebih deh. Happy.............

Monday, June 02, 2008

Info: Perawat Go International...

Mau ikutan sharing informasi...siapa tau bermanfaat buat yang membaca blog ini.

PROGRAM PENEMPATAN PERAWAT INDONESIA KE JEPANG

Sebagai realisasi dari kesepakatan G to G antara Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam kerangka IJEPA (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement) yang telah ditandatangani di Jakarta pada tanggal 19 Mei 2008, maka Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI membuka kesempatan bagi perawat Indonesia untuk bekerja sebagai Perawat (Kangoshi) di Jepang. Bagi perawat yang lulus seleksi (diharapkan 240 orang perawat) akan diberangkatkan ke Jepang pada bulan Agustus 2008 dengan masa kontrak kerja selama 3 tahun dengan starting salary sekitar 200.000-250.000 yen atau Rp 17,9 juta.

Persyaratan dan prosedur pendaftaran :
Perawat Indonesia, laki-laki dan wanita, usia 21 ・35 tahun ,
lulusan D-3 /S-1 Keperawatan tahun 2005 atau sebelumnya dengan pengalaman kerja di klinik/RS sebagai perawat min 2 tahun.
Berkas yang diperlukan (masukkan dalam 1 map berwarna merah)
Fotocopy ijazah dan transkrip nilai akademik yang sudah dilegalisir (bahasa Indonesia) dan yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris (dari institusi pendidikannya atau penterjemah resmi)
Fotocopy surat keterangan pengalaman kerja minimal 2 tahun dalam bahasa Indonesia dan terjemahan dalam bahasa Inggris.
Fotocopy KTP, Surat Keterangan Catatan Kepolisian/SKCK (asli), Kartu tanda pencari kerja/Kartu kuning (asli dan fotocopy yang dilegalisir oleh Disnakertrans).
Surat Ijin dari suami/istri/orangtua/wali yang diketahui oleh Ketua RW/Lurah/Kepala Desa.
Pasfoto terbaru latar belakang biru ukuran 3x4 cm = 4 lembar
Good performance (bagi wanita tidak dalam keadaan hamil, bagi pria tidak bertindik, dan baik pria maupun wanita tidak boleh bertato).
Mengisi formulir 5 di tempat pendaftaran
Waktu dan tempat pendaftaran : 27 Mei s/d 3 Juni 2008 di Puspronakes LN Depkes RI, Jln.Wijaya Kusuma Raya 48,Cilandak Jakarta Selatan,tlp 021 75914747 pswt 115 dan 021 7691531 Uji kompetensi tanggal : 5 Juni 2008 di Puspronakes LN Depkes RI Jakarta,
Pengumuman kelulusan uji kompetensi : 6 Juni 2008 dan akan diterbitkan Surat Tanda Registrasi (STR) Keperawatan dalam bahasa Indonesia dan Inggris oleh Depkes RI.

Bagi yang lulus akan mengikuti test kesehatan / Medical Check Up tanggal 6-7 Juni 2008
Finalisasi nama peserta yang lulus seleksi Depkes RI : 8 Juni 2008, penyerahan berkas ke BNP2TKI tanggal 9 Juni 2008.
Prosedur seleksi selanjutnya akan dilaksanakan oleh BNP2TKI dan JICWELS (Japan International Corporation of Welfare Services) meliputi :
Tanggal 9-11Juni 2008 :kelengkapan berkas administrasi meliputi persyaratan, keaslian dokumen, dan pemberitahuan jadual psiko test dan wawancara.
Tanggal 16-20 Juni 2008 : psikotest dan wawancara
Dilanjutkan dengan penyelesaian proses administrasi selanjutnya dan direncanakan dapat berangkat ke Jepang antara tanggal 3-9 Agustus 2008.Sosialisasi program ini akan dilaksanakan oleh Depkes pada :
Tanggal 2 Juni 2008 jam 10.00 WIB di Puspronakes LN Depkes RI Jakarta, tlp 021-75914747 pswt 115
Jakarta, tlp 021-75914747 pswt 115

23 Mei 2008 Kepala,
Dr.Asjikin Iman H. Dachlan,MHA
NIP 140 174 584