"Sehari-hari Alma ngomong pake bahasa apa nih?".
Pertanyaan ini sering banget diajukan kepada kami. Ini ada kaitannya dengan lingkungan hidup dan pendidikan bahasa bagi putri sulung kami yakni Alma Nadia Fadhilah (Alma, 18 bulan).
Ayahnya Alma: "Bahasa Indonesia dong!".
Yang nanya (orang Indonesia): "Ooo...kirain Bahasa Jepang!".
Mungkin karena Alma lahir di negeri sakura, jadi kebanyakan dari teman-teman di lingkungan kami tinggal menyangka bahwa komunikasi kami dengan Alma disampaikan dalam Bahasa Jepang.
Yang bertanya tadi merespon jawaban kami dengan nada sedikit kecewa loh. Ayahnya Alma coba balik bertanya:
"Memangnya anak anda diajar Bahasa apa?".
"Kalo Dia (si anak) Bahasa Jepang!. Bahasa Indonesia nggak pernah tuh diajarkan".
AKu yang ikut menyimak hanya tersenyum. Bagiku bukan hal aneh kalo si anak itu diajar bahasa Jepang, karena dia terlahir dari pasangan Jepang-Indonesia. Kemudian dibesarkan di lingkungan Jepang.
Suamiku mencoba meluruskan.
"Alma juga diajar bahasa Jepang kok. Ditambah satu lagi bahasa asing yakni Bahasa Inggris. Tapi bagi kami (melihat wajahku) bahasa utama buat Alma adalah Bahasa Indonesia".
"Kenapa begitu Pak?. Kan dia sekarang hidup di Jepang sini?" tanya teman kami lagi.
"Iya betul. Tapi kami melihat jauh ke depan. Anak kami belum tentu akan dibesarkan di lingkungan sini seterusnya. Alma harus mampu berkomunikasi dengan kakek-nenek, sodara-sodaranya yang hanya bisa berbahasa Indonesia. Kami nggak mau mereka yang harus bersusah payah mengerti bahasa Jepang, yang jelas bukan bahasa ibu kami".
Tiba-tiba istri si teman itu nyeletuk:
"Iya, kemarin ibu mertuaku datang (ibu suaminya yang orang Indonesia). Tapi selama hampir sebulan tinggal di sini, nggak bisa nyambung kalo ngomong sama cucunya".
Mereka terkekeh, tapi aku mengerenyit. Kasian betul si nenek, pasti kan pengen banget ngajarin ini itu ke cucunya. Sementara kendala bahasa jadi barier tipis di antara mereka.
Tapi aku setuju dengan pendapat suamiku. Tak sedikit aku melihat pasangan suami-istri WNI yang punya anak-anak cakap berbahasa Jepang. Biasanya si anak-anak memperoleh kemampuan berbahasa Jepang dari Play-Group, SD or sekolah tempat mereka bersosialisasi. Sayangnya kemampuan anak-anak itu tidak didukung oleh kemampuan setara dari para ortunya. Jadi aku pribadi sering 'jangar' kalo mendengar mereka sedang bercakap-cakap. Kemampuan bahasa Jepang si ortu yang tidak mencukupi/ amburadul tidak seimbang dengan anak-anak mereka yang gape cuap-cuap in Japanese. Yang menarik justru, para ortu lebih bisa berkomunikasi dengan bahasa daerah masing-masing kepada anak-anak mereka. Ini mungkin karena dah kepepet. Nggak ngerti si anak ngomong apa, akhirnya si ibu or si ayah gusar lalu keluar deh bahasa daerah mereka.
Jadi ingat cerita suami baru-baru ini. Temannya yang tinggal di USA bercerita bahwa anak tunggal mereka yang hanya bisa berbahasa Inggris, sering manyun dan nggak nyambung kalo bicara dengan nenek/kakeknya dari Indonesia. Teman suamiku justru dianjurkan oleh seorang konsultan anak untuk mengajakan bahasa ibu kepada anaknya sejak dini.
*************
Aku dan suami merasa bersyukur karena dikarunia kemampuan berbahasa Jepang dan Inggris dengan baik. Aku, merasa cukup mampu menguasai Bahasa Jepang secara gramatikal sehingga kelak bisa menjaga perkembangan Alma dalam berbahasa Jepang. Sedangkan suamiku menguasai Bahasa Inggris dengan baik dan benar, dan bisa menjadi tutor anak-anak nanti dalam belajar Bahasa Inggris.
Sebenarnya aku pernah belajar Bahasa Cina selama 1 tahun. Semua buku yang berhubungan dengan bahasa ini lengkap. Aku merasa cukup gampang menguasai Bahasa Cina, mungkin pada waktu itu aku dah menguasai huruf Kanji Jepang. Walaupun tidak sama, tapi cukup membantu.
Selain itu sejak kecil aku sudah belajar mengaji, sehingga huruf-huruf Cina yang lafaznya lumayan susah bisa dikuasai dengan cepat. Kenapa?. Ternyata bunyi huruf-huruf Cina itu mirip banget ama beberapa huruf arab. Seperti bunyi 'sy..sh..za', dst. Tapi aku nggak mau gegabah ngajarin Alma or nanti adeknya berbahasa Cina. Ini karena aku tidak lagi menguasai bahasa ini.
Maksudku aku nggak mau setengah-setengah mengajarkan anak-anak bahasa asing. Di luar bahasa Jepang dan Inggris, mungkin mereka perlu dipanggilkan pengajar khusus kelak.
Bagaimana dengan bahasa Arab?. Ini pun aku tak menguasai. Yang aku kuasai adalah tajweed dalam membaca Al-Quran. Hasil menimba ilmu setahun di sini, dengan guru orang arab langsung. Plus maintenance sehari-hari yakni dibantu rajin ikut tajweed online dari salah satu grup milis muslimah se Jepang. Memodali diri dengan berbagai macam buku tajweed pun sudah terlaksana. Jadi Inshaa Allah siap bila ALma bertanya: Huruf Mad itu apa bu?. Soalnya hidup di lingkungan non-muslim seperti di sini harus tetap mampu mengajarkan agama Islam kepada anak-anak.
Terakhir, bagaimana dengan Bahasa Indonesia kami?. Nah ini nih...walaupun bahasa ibu sendiri tapi tetap harus punya ilmu dalam membimbing anak-anak nanti. . Aku lagi giat-giatnya belajar menulis, baik itu fiksi maupun non-fiksi. Ini sebagai salah satu tool aku mencoba mengerti dan mengembangkan bahasa Indonesia. Sekalian tujuan terselebung: jadi penulis bo!...hahahhahaha
No comments:
Post a Comment