Sunday, May 05, 2013

Jajanan Pinggir Jalan, Kelebihan dan Masalah-Masalahnya




Photo: Survei-1
Salah satu warung PKL yang sedang didatangi pembeli
Ketika kaki sedang melangkah di tengah terik matahari, yang terpikir adalah minuman segar dan dingin. Lalu tempat mendinginkan badan, ya ke penjual kaki lima. Di setiap sudut jalan, selalu ada PKl dengan variasi menu jualan. Ada makanan utama, seperti satu paket nasi uduk , nasi pecel dan nasi liwet. Buat yang isi kantongnya pas-pasan tapi ingin hang-out bersama teman-teman, memesan seporsi es campur sudah tercukupi. Sudah bisa ngobrol sepuasnya. Dan uang di kantor, paling-paling berkurang lima ribu rupiah. Tetapi coba minum teh botol di family restoran, atau kafe-kafe di mall, sudah pasti uang tujuh ribu atau lebih akan terkuras. 

Keberadaan penjual kaki lima di Indonesia sudah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan penduduknya sehari-hari. Baik yang berdagang mau pun pembeli. Buat pedagang, berjualan di tempat terbatas dengan modal gerobak dan keinginan berjualan, sudah bisa berjualan. Sebaliknya buat pembeli, keberadaan PKL sangat membantu. Dengan variasi makanan yang banyak, harga yang jelas ekonomis, dan pembeli bisa pilih mana dan mau berapa banyak porsinya. Kelebihan PKL adalah menjual menjual makanan rumahan yang sudah akrab di lidah kita. Tetapi, apakah kita tahu mereka punya segudang masalah. 

Siang ini saya menyempatkan main ke salah satu pondok PKL yang ada di Jl. Tamansari, Bandung. Sejak remaja hingga sudah berputra tiga, setahu saya di sana bentuk bangunan PKL hanyalah gerobak-gerobak. Beberapa sudah bikin pondok-pondok dengan atap seng. Namun, beberapa bulan lalu saya kaget dengan perubahan yang tiba-tiba terjadi. Di tempat biasa sedang terjadi pembongkaran pondok-pondok semi permanen. Pemandangan pembongkaran itu hampir tiap hari masuk ke pelupuk mata saya. Saya hanya bisa melihat dari kejauhan. Selain itu, tampak sebuah tenda parasut berukuran besar didirikan di taman kecil di sudut jalan. Taman itu menghadap persis ke deretan PKL. Yang membuat hati saya terguncang, adalah tulisan ‘kami akan tetap di sini sampai ada solusi!’. Waah, masalah besar ini pikir saya. 

Selang beberapa minggu kemudian, sudut jalan yang lama sudah bersolek. Kini muncul bentuk-bentuk bangunan yang sangat tradisional. Terbuat dari bambu-bambu. Dindingnya bercorak anyaman bambu. 

 Teh Neng (bukan nama asli), pemilik warung nasi yang melayaniku mau meladeni pertanyaan-pertanyaan saya. 

“Alhamdulillah, bentuknya jadi bagus ya, Teh?” 

 “Ya gitulah, Bu,” jawabnya. 

Lalu saya ceritakan bahwa saya terkejut waktu lapak-lapak di sekitar ini dibongkar. 

“Saya juga, Bu. Udah gelap aja. Mau makan apa besok. Tapi, besoknya sudah dibangun lagi. Alhamdulillah,” katanya. 

“Ini punya Teh Neng?” tanya saya makin penasaran. 

“Bukan punya Bapak,” jawabnya. 

“Ooo... “Tapi, Bapak sekarang lagi di Majalengka. Sebulan sekali aplusan dengan saya.

” Teh Neng juga punya anak. Sebulan sekali, ia dan suaminya berjaga di warung nasi ini. Bulan berikutnya Bapak dan Ibunya yang datang ke Bandung, berjaga di warung kecil itu. 

“Kalau di Bandung, tidur di mana Teh?” tanya saya. Lantai warung ini semen. Kalau mau ke kamar mandi bagaimana? Pikiran saya, namun tidak tersampaikan. 

“Ya di sini. Hehehe.” Dia tertawa. Wajahnya masih cukup muda. 

 “Eh?” Saya kaget. “Apa tidak takut tidur malam-malam di sini.” Di luar sana, hanya ada pohon-pohon besar dan jalan besar yang selalu ramai oleh alat transportasi di siang hari. Entah kalau di malam hari. 

Pan aya suami," jawabnya dengan logat sunda yang cukup kental. Dia tergelak mendengar pertanyaan saya. 

 “Oh, iya ya. Sama suami ya.” Saya jadi lega. Membayangkan wanita berjilbab tidur di warung ini sebulanan. 

“Sekarang ada ronda, Bu,” katanya. 

“Oh begitu ya.” Lalu dia menunjukkan sebuah kertas berukuran A4 yang telah delaminating dengan plastik. Di sana tertulis, ‘JADWAL RONDA. KALAU TIDAK RONDA, BAYAR Rp. 100.000’. 

“Jadi sekarang lebih teratur ya, Teh,” kata saya. 

“Iya, Bu. Alhamdulillah. Sekarang juga ada musola kecil, tempat wudhu dan kamar mandi, Bu.” 

“Oya, di mana?” tanya saya. 

“Di ujung jalan ini.” 
“Wah enak juga ya. Selama jualan, ibadah tetap bisa dijaga.” 

Terakhir saya iseng bertanya,” Lapak sebelah punya Teh Neng?” “Bukan, Bu. Ada pemiliknya tapi sepertinya tidak sanggup bayar uang ganti pembangunan. Satu lapak itu sepuluh juta, Bu.” 

Glek. Kali ini saya super kaget. Soalnya ukuran sebesar warung rokok saja dibandrol sepuluh juta. Bagaimana dengan lapaknya Teh Neng yang luasnya dua kali lipat. Subhanallah. Terasa betul mereka ini berjualan demi hidup, bukan karena kelebihan uang. 

kamar mandi musala
Photo: Survei-5
lantai musala yang berkeramik
      

“Sekarang jumlah pembeli berkurang. Karena letak PKL digeser sekian radius meter dari aslinya. Menyebabkan para mahasiswa yang biasa makan ke sini lebih memilih ke tempat lain. Dia mengangguk. Setelah berbasa-basi dengannya, saya pamit dan membayar makanan yang tadi saya cicipi. Mie goreng dan telor mata sapi dibumbui pedas. Rasanya tidak seberapa, sepadan dengan harganya yang lima ribu rupiah. Tetapi, yang saya rasakan sejam di warung itu, adalah kegelisahan mereka ketika terjadi pembongkaran sangat besar. Seperti lapaknya Teh Neng ini, sudah enam tahun berdagang di sini. Di tempat yang sama. Bayangkan, bagaimana mereka menjadikan warung ini sandaran hidup. 

Dari hasil bincang-bincang dengan Teh Neng, bahwa pembongkaran oleh Satpol PP adalah suruhan Pemkot. Alasannya sudah jelas karena trotoar bukan tempat berjualan. Tetapi terasa janggal jika para PKL yang sudah nangkring di situ dalam jangka waktu minimal lima, enam atau bahkan ada yang puluhan tahun sudah berjualan di sini, baru sekarang dipaksa untuk berhenti berdagang. Kalau diibaratkan tanaman sudah berakar dan berurat di tanah, pasti menyakitkan jika disuruh angkat kaki. . Namun upaya dari pihak komunitas PKL ini ternyata berbuah hasil. Kata Teh Neng lagi, ada perwakilan dari mereka yang mendatangi pemkot. Mereka berjanji dengan swasembada uang (urunan), mereka membangun sendiri bentuk-bentuk lapak menjadi lebih berseni tradisional. Akhirnya, kini mereka kini tetap bisa melanjutkan melanjutkan mencari nafkah di sini. Selain itu , dengan bentuk lapak-lapak yang sangat berkesan tradional, menarik dan tertata rapi,  menjadikan sudut jalan yang tadinya kumuh, menjadi enak di lihat. 

Makan di pinggir jalan itu terus terang enak sekali. Bisa merasakan suasana berbeda tentunya dengan rumah sendiri. Apalagi kalau menemukan jajanan yang enak dan pas di lidah. Yang utamanya, harga ekonomis bisa jadi itulah daya tarik jajajan pinggir jalan yang utama.

Photo: Survei-3
Deretan bangunan dari bambu bergaya tradisional di salah satu sudut jl. Tamansari Bandung
Saat ini PKL harus bersaing dengan para pengemudi mobil. Banyak lahan publik yang biasanya dikuasai PKL, kini dipakai sebagai lahan parkir berbayar. Apa pun itu bentuknya. penggunaan lahan publik untuk lahan parkir sangat tidak manusiawi bagi pengguna jalan.

lahan yang seharusnya bebas kendaraan, akhir-akhirini dikuasai oleh tukang parkir . malam biasanya menjadi lahan PKL

  • LAIN PADANG LAIN BELALANG

Akhir tahun 2012, aku dan suami menyempatkan diri berkunjung ke negeri Gajah Putih, Bangkok. Hal pertama yang membuatku takjub adalah bentuk wajah orang-orang sana yang mirip sekali dengan wajah orang-orang Indonesia. Dan satu hal lagi yang paling membuat kota itu mirip dengan kota Jakarta atau Bandung (dua kota yang pernah saya tinggali lama), adalah keberadaan pedagang kaki lima. Jenis jualannya pun sama persis dengan yang ada di kita. Mulai dari sandang dan makanan.

Hanya yang terasa berbeda adalah luas trotoar. Kalau di kota tempatku tinggal, trotoar habis oleh jualan para PKL, di Bangkok para pejalan kaki-terutama wisman, masih bisa menikmati lahan trotoar dengan tenang. Tanpa perlu berdesak-desakan. Bahkan jadi obyek turisme yang paling digandrungi wisman maupun pribumi.

Aku berharap, PKL di tanah air benar-benar diperhatikan. Karena keberadaan mereka sangat membantu banyak pihak. Baik itu para pekerja, ibu rumah tangga, hingga anak-anak muda dan para bocah kecil.

2 comments:

Ila Rizky said...

yang paling utama memang masalah kebersihan, teh. dulu aku pernah nyoba minum es di pinggir jalan juga ternyata memang ga sreg. jadilah badan meriang pulang dr jogja. :(

kalo di indonesia udah tertata rapi untuk makanan pinggir jalan tapi tetap sehat dan bersih, bisa dipastikan ekonomi masyarakat kalangan bawah meningkat.

bestfriend said...

Ila, makan di pinggir jalan memang cocok-cocokan ya. Eh, tapi makan di restoran juga kalo nggak enak tapi mahal, kesal banget! hahaha. Mending di pinggir jalan.

Ila, sebenarnya sekarang makan di pinggir jalan tidak didominasi orang-orang ekonomi menengah ke bawah loh. Banyak sekali yang bermobil bagus. Mungkin bukan kelas ekonominya yang diperhatikan, tapi sensasinya kali ya.

Di Bandung, ada seafood cisangkui yang terkenal. Kalau main ke situ, selain maknyos, tukang parkirnya aja ampe dua. Soalnya yang datang makan banyak yang bermobil.