Tuesday, November 28, 2006

Kyabakura-Jo, Hosuto...sisi kelam masyarakat Jepang

Dalam sejarah perang dunia, ada satu sisi kelam yang hingga saat ini terus menerus mendapat sorotan dari banyak kalangan. Yakni masalah 'Jungun Ianfu'. Istilah ini ditujukan untuk para wanita di negara jajahan yang melayani tentara Jepang dalam pemenuhan kebutuhan seks mereka.
Keberadaan para wanita tersebut tidak hanya ada di negara kita-Indonesia saja, tetapi juga di negara Asia lain seperti Korea, China, Malaysia dan lainnya. Perjuangan para wanita-wanita ini masih berada di pertengahan jalan dalam meraih keadilan, padahal usia terus menggerogoti mereka. Tak sedikit hingga hayat di kandung badan lepas, para wanita ini harus membawa kenangan pahit itu hingga ke liang kubur.
Masih banyak dari kalangan mereka sendiri atau keturunan mereka yang terus menuntut Pemerintah Jepang untuk mengakui kebejatan moral para mantan tentara perangnya.Tuntutan para wanita ini sudah dijawab oleh Pemerintah Jepang dalam bentuk uang kompensasi, sebagai pengganti 'terengutnya masa muda yang indah dengan cara paksa, juga sebagai upaya penyembuhan luka masa lalu'. Tapi sayangnya, hal penting yang seharusnya diakui sebagai rasa malu telah memperlakukan wanita yang dimata Allah swt diletakkan di tempat yang agung, tidak juga keluar dari seluruh mulut para mantan tentara Jepang yang masih hidup hingga saat ini. Mungkin para wanita itu menjerit: kalau perlu para mantan tentara Jepang ini sebaiknya melakukan 'harakiri'(robek perut) sebagai upaya intropeksi diri. Ternyata tidak semua laki-laki Jepang berjiwa 'Bushi' seperti yang bisa kita lihat di film 'Samurai'.
Tapi, aku bukan untuk membahas hal-hal di atas. Ada hal lain yang mungkin lebih menarik untuk di tampilkan. Menarik, bukan berarti untuk ditiru, atau diteladani. Menarik untuk difikirkan dan karena keprihatinanku sendiri. Hal yang ingin aku ceritakan masih ada kaitannya dengan hal-hal di atas. Merupakan pengamatanku selama hidup di Jepang.
Tahun 1997 aku datang ke Jepang sebagai pelajar. Selama 2 tahun pertama kehidupan di Jepang ini, aku tidak punya waktu banyak untuk mempelajari kehidupan masyarakat Jepang. Waktu 2 tahun pertama harus kulalui dengan kegiatan belajar, bekerja, belajar dan bekerja.
Tahun 1999 aku pindah ke Kota Kyoto dan menetap di sini hingga Maret 2004. Sebuah kota yang kental dengan adat istiadat Jepang masa lalu. Tinggal di kota ini seperti kena 'time sleep'. Di kota ini ada kurang lebih 1000 buah kuil. Dari yang ukurannya kecil hingga yang seluas Plaza Indonesia di Jakarta. Dalam 1 tahun dengan pergantian 4 musim selalu diwarnai dengan berbagai macam festival. Lewat berbagai festival itu, Pemda Kyoto bisa menarik keuntungan uang yang tidak sedikit. Tidak hanya itu kebaikan yang bisa diambil oleh Pemda Kyoto, tapi juga nama kota itu bisa dikenal di seluruh dunia. Menjadi obyek wisata yang diminati wisatawan dalam negeri dan juga luar negeri. Dengan mengikuti prosesi setiap festival yang dilaksanakan dalam 1 tahun, aku bisa banyak belajar tentang Jepang. Kota Kyoto ini pernah menjadi ibukota darurat pengganti Tokyo. Kyoto adalah Kota Yogyakarta, dan Tokyo adalah Kota Jakarta. Seperti itu aku selalu membuat perbandingan.
Bagiku kota Kyoto seperti manusia bermuka 2. Bersisi wajah kehidupan masa lalu yang terus dipertahankan, dan kehidupan modern yang terus berkembang. Di pusat kota, ada sebuah sungai besar yang panjang membelah kota hingga tersambung dengan kota Osaka. Dikenal dengan sebutan 'Kamogawa' atau 'Sungai Bebek'. Bila menelusuri sungai ini hingga ke pusat kota, maka kita bisa menemui kehidupan masa lalu yang dipertahankan itu. Pusat kota ini dikenal dengan sebutan Kawaramachi Dori. Di sekitarnya ada wilayah bernama Pontocho. Di wilayah ini berderet rumah makan yang kental dengan nuansa Jepang. Mulai dari bentuk bangunannya, jenis masakannya, bahasa yang dipergunakan, tata krama pelayanannya, semuanya. Aku pernah ditraktir makan di salah satu restoran di situ, tapi bagiku mahal sekali. Aku juga bekerja paruh waktu di wilayah itu, sehingga bisa melihat dan mendengar langsung kepuasan setiap tamu yang melewatkan waktu mereka dengan makan-makan di sana. Ada prestise tersendiri bila menjadi tamu di wilayah Pontocho ini.
Di wilayah Pontocho ini pun ada 'Desa Geisha'. Aku sengaja menuliskan kata-kata Geisha, supaya yang membaca tulisanku ini gampang menggambarkan profile wanita Jepang yang menggunakan kimono,bermake-up putih dengan konde khasnya. Aku menggunakan kata 'desa' karena memang di wilayah ini bisa kita temui lokasi tempat tinggal wanita-wanita berprofesi Geisha . Tapi tunggu dulu!. Aku tidak ingin imajinasi pembaca tentang Geisha ini menjadi negatif. Aku ingin berbagi sedikit pengetahuan tentang Geisha. Bukan uraian panjang lebar, tapi hanya memperkenalkan makna huruf Kanji dari 'Geisha' itu sendiri. Geisha itu bermakna 'orang yang bisa berkesenian'. Jadi Geisha itu adalah seorang wanita yang bisa menari dan memainkan alat musik tradisional Jepang.Bukan pelayan seks seperti yang aku bayangkan selama ini. Selain kata 'Geisha' juga ada kata 'Maiko'dan 'Geiko'. Semua kata-kata ini adalah sebuah profesi. 'Maiko' adalah 'wanita muda yang bisa menari', sedangkan 'Geiko adalah 'senior' daripada Maiko, yang tidak hanya bisa menari tapi juga memainkan alat musik'. Sedangkan Geisha adalah 'senior' daripada keduanya. Senior dalam artian pengalaman dan umur. Untuk menjadi seperti mereka ini harus melalui sebuah sekolah khusus, sekolah kejuruan. Jadi bukan'tiba-tiba jadi' loh.
Restoran Jepang, Desa Geisha, menjadi obyek wisata di kota ini. Bila ada kesempatan dan tentunya uang, anda bisa mencoba memakai baju seperti Geisha dan berjalan-jalan di sekitar kuil sambil berfoto. Sebuah paket wisata yang lengkap dan menyisakan kenangan indah tentunya.
Kemudian yang kusebut dengan wajah ke 2 adalah dunia hiburan malam bergaya modern. Bar atau 'snack' yang lengkap dengan wanita-wanita muda penghibur. Kemudian ada juga laki-laki berpakaian jas rapi, berdiri di masing-masing bar tempat mereka bekerja sebagai penarik tamu. Para laki-laki ini berdiri di depan pintu masuk setiap bar, sambil tersenyum ramah kepada para pejalan kaki yang lewat di depan wilayah mereka. Mereka akan berusaha berkali-kali menghadang pejalan kaki sambil merayu untuk mampir ke bar mereka.'Di tempat kami ada nona-nona manis loh Pak, Mas'. 'Di tanggung anda puas deh'. Aku yang mendengar kata-kata itu merasa jengah. Aku jadi merasa wilayah ini tidak bagus untuk dilewati. Tapi aku punya kepentingan untuk melewatinya, karena wilayah itu adalah bagian dari pusat keramaian kota.
Bar atau 'snack' yang aku maksudkan di atas hanya diwakili sebuah pintu saja. Tidak bisa diintip dari luar. Jadi, promosi tentang wanita-wanita penghibur di dalamnya tidak bisa diketahui dengan jelas, kecuali kalau kita masuk ke dalamnya. Tapi aku jelas tidak mungkin masuk ke dalamnya. Haram!. Jelas haram. Selain rayuan para lelaki yang berdiri berjam-jam di luar bar, ada juga bar yang meletakkan poster para wanita dengan gaya berpakaian yang sangat-sangat merangsang. Aku pun tidak punya keberanian mengatakan bahwa poster para wanita itu sama dengan yang di'pajang' di dalam bar itu sendiri.
Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan malam di kota ini. Terus terang saat itu aku merasa dihianati.Di satu sisi aku bangga tinggal di kota ini, aku bisa belajar banyak hal yang bersejarah dan sangat menarik.Tapi mengapa harus di'coreng' dengan kehidupan malam yang benar-benar 'terbuka', tidak 'transparan'. Sebenarnya aku juga lebih merasa dihianati lagi dengan kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengaku masyarakat beragama tapi sok suci dengan pura-pura tidak peduli terhadap kehidupan malam yang tidak berbeda dengan yang kutemui di Jepang.
Melalui media televisi aku akhirnya bisa mengenal juga kehidupan malam di Jepang secara umum.Tidak hanya terbatas di kota Kyoto saja. Tapi hampir ada di seluruh kota dan desa di Jepang.Ada istilah 'Kyabakura-Jo' bagi wanita-wanita muda penghibur di bar atau 'snack', dan 'Hosuto' bagilaki-laki muda penghibur. Di setiap bar, ada tokoh 'mama', yakni seorang wanita cantik separuh baya yang menjadi manajer bahkan pemilik bar.
Sejak ratusan tahun yang lalu, di Jepang dikenal profesi wanita penghibur yang disebut 'Oiran'. Hiburan yang disajikan bukan tari dan gerak, tapi sebagai pemuas nafsu seks lawan jenisnya.Kemudian hal ini berkembang ke abad 20, dan muncullah istilah-istilah lebih modern dan menjadi sebuah profesi yang diminati habis-habisan oleh wanita-wanita muda Jepang. Yang aku maksudkan adalah sebutan 'Kyabakura-Jo'. Aku tidak tahu apakah bekerja sebagai Kyabakura-Jo sama seperti 'Oiran' zaman dulu. Tapi, berprofesi sebagai Kyabakura-Jo berarti akan menghasilkan uang yang banyak. Dalam usia 20-30 tahunan, sudah bisa menjadi mesin uang untuk diri sendiri. Bisa membeli apa pun yang diingini. Tidak sedikit mereka mendapatkan hadiah dari para tamu berupa barang-barang kecil berupa baju, tas, jam tangan yang bermerk mahal hingga benda besar seperti bangunan apartemen, mobil dan lain sebagainya. Bahkan ada juga tamu yang menyelipkan uang 10 ribu yen di setiap halaman buku setebal 200 halaman, sebagai hadiah atas layanan yang telah diterimanya dari sang gadis penghibur.
Profesi sebagai gadis penghibur di zaman modern ini tidak lagi menuntut kecantikan dan kemolekan tubuh, walaupun tetap menjadi hal penting. Tetapi yang dituntut dari seorang Kyabakura-Jo adalah kecerdasan, memiliki pengetahuan luasseperti halnya penyiar tv atau mungkin reporter koran dan majalah. Harus bisa menjadi 'kamus ilmu pengetahuan umum' yang bisa meladeni pembicaraan setiap tamu yang ingin berkeluh kesah tentang dunia bisnis, dunia kedokteran,dunia musik, atau apa saja. Bahkan di bar-bar berkelas tinggi, para Kyabakura-Jo memiliki kemampuan berbahasa asing. Seorang Kyabakura-Jo yang memiliki kemampuan lengkap seperti yang telah kujabarkan, maka dia akan mampu bertahan sebagai 'Number One', dan ini ada kaitannya dengan keuntungan pribadi dan bar tempat ia bekerja. Seorang Kyabakura-Jo kelas atas mampu membeli sebuah mobil Jaguar terbaru hanya dalam hitungan gaji dan bonus minimal 1-3 bulan. Tapi seorang Kyabakura-Jo yang tidak mampu bersaing, harus menerima kenyataan pahit, yakni dipecat dari pekerjaannya.
Kesimpulan yang bisa kutarik adalah, profesi Kyabakura-Jo telah dianggap tidak kalah penting seperti halnya profesi karyawan di dunia bisnis normal. Entah berapa ratus bar yang ada di sebuah wilayah perkotaan besar, dan keuntungan dari bisnis ini tergantung daripada kemampuan para Kyabakura-Jo mempertahankan kehadiran seorang tamu. Persaingan antar bar sangatlah ketat, sehingga apabilaterpilih sebagai 'Kyabakura-Jo Number One' di wilayah tersebut adalah hal yang membanggakan.
Ada satu lagi profesi sejenis di dunia hiburan malam, yakni 'Hosuto'. Seperti yang telah kujelaskan di atas, bahwa Hosuto ini adalah hostess laki-laki. Apabila para Kyabakura-Jo bersolek dan berpakaian mahal lagi indah, maka para Hosuto pun tidak kalah menarik. Mereka biasanya bermodalkan jas modern yang tentunya mahal, kemudian bergaya rambut terkini, memakai wangi-wangian, berperawakan kurus dan lembut, berwajah manis, dan siap berlutut merayu-rayu tamu wanita yang hadir. Target mereka adalah para tamu wanita tersebut memesan minuman beralkohol termahal yang dijual di setiap bar mereka. Dimana harga satu botol minuman itu bisa sampai ratusan juta atau mungkin 1 milyar rupiah. Wanita-wanita yang datang tidak hanya wanita separuh baya berduit yang mencari 'kehangatan' di luar rumah, tapi juga wanita-wanita mandiri yang memang memiliki penghasilan banyak, atau wanita muda anak orang kaya, atau karyawan di sebuah perusahaan biasa yang masih single dan mati-matian berhemat agar bisa 'menyewa' sang Hosuto.
Menjadi seorang Hosuto harus mampu 'minum' alkohol selama jam kerja tanpa mabuk. Dibalik 'kegagahan' para Hosuto ini ketika melayani tamunya, sebenarnya tidak sedikit yang harus dikorbankan. Terutama kesehatan mereka. Sering ditayangkan di televisi, bahwa seorang Hosuto ternyata akan terkapar di pagi hari karena over-dosis alkohol.Kebanyakan dari mereka pun sudah mengidap penyakit paru-paru, pencernaan dll yang parah karena kadar alkohol yang dikonsumsi sudah melewati ambang normal. Untuk mempertahankan kesehatannya, seorang Hosuto harus bolak-balik ke dokter untuk meminta obat khusus. Setiap kali dokter mengingatkan untuk mengurangi kadar alkohol yang diminum, maka setiap kali pula sang Hosuto mengeluarkan uang banyak untuk menerima jatah obat bulanan dari sang dokter. Yang membuatku tak habis pikir, mengapa profesi ini tidak dihilangkan saja?. Yang terpikir olehku hanya satu, yakni berlaku hukum 'bagi untung' antara pasien dan dokter!. Sehingga nasehat dokter hanya menjadi kicauan burung gagak yang tidak perlu didengarkan. Dari pihak dokter sendiri, mungkin nasehat yang diberikannya hanya semacam 'kewajiban' tapi tidak perlu dituruti.
Selain kesehatan yang harus dikorbankan, tidak sedikit cerita yang mengharukan disandang oleh seorang Hosuto. Pilihan hidup sebagai seorang Hosuto adalah jalan hidup yang aku yakini tidak normal. Ada semacam keterpaksaan dalam menjalaninya. Dari sekian ratus ribu Hosuto yang berkeliaran di seluruh antero Jepang, tidak sedikit yang sebenarnya berstatus mahasiswa. Tertarik dengan ratus juta yen yang melayang-layang dari kantong para tamu yang dilayani, merupakan penyebab utama mereka memilih profesi ini. Kemudian, rasa ingin mendapatkan gaya hidup mewah tanpa perlu kerja seumur hidup di sebuah perusahaan. Tetapi ada juga yang terpaksa bekerja sebagai Hosuto karena merasa bertanggung jawab untuk menghidupi anggota keluarganyayang cacat, orangtuanya yang sudah jompo, dan lain sebagainya. Kebanyakan dari para Hosuto ini 'menyembunyikan' identitas asli mereka di depan sanak keluarganya. Sehingga anggota keluarga yang berada di kampung hanya menyakini kalau anak mereka bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang salary-man (karyawan).
Setahun belakangan ini sudah ada trend baru di dunia hiburan televisi. Yakni, kemunculan seorang mantan Hosuto yang menjadi selebriti. Di satu sisi, mungkin trend ini jadi kiblat baru untuk Hosuto-Hosuto lain agar kelak bisa mengikuti jejak seniornya yang kita berkibar di layar tv. Tapi aku terhenyak ketika mengetahui lewat media tv, bahwa selama ini ayah dan ibu sang selebriti tidak pernah tahu bahwa anaknya adalah mantan Hosuto. Sang ibu hanya bisa pasrah dan akhirnya 'menghormati' pilihan hidup anaknya.
Seperti halnya Kyabakura-Jo, maka di dunia Hosuto pun dikenal istilah Number One. Tidak hanya Number One se-bar, tapi juga ada kompetisi untuk menjadi nomor satu di seluruh Jepang. Kompetisi gila!, tapi nyata. Kompetisi ini ditayangkan di media tv Jepang, dan menjadi contoh bagi yang muda-muda. Maka terbentuklah lingkaran setan di dalam generasi muda Jepang untuk meniru senior-senior mereka untuk berprofesi sebagai Kyabakura-Jo atau Hosuto.
Kyabakura-Jo dan Hosuto, dua profesi yang masih akan terus diminati oleh anak muda Jepang yang ingin hidup senang dengan jalan pintas. Tidak ada diskriminasi jenis kelamin, perawakan wajah dan tubuh untuk menjadi seperti mereka. Asalkan mereka serius dan mau 'berjibaku' menjalani profesi ini, maka kenikmatan dunia sudah pasti ada di tangan. Tapi mereka akan membayar mahal kenikmatan dunia itu, yakni dengan perasaan kering kerontang dan kehampaan di lubuk hati yang paling dalam. Percayalah itu!

*Hasil pengamatanku selama 6 tahun hidup di Jepang*

Thursday, November 23, 2006

Mau apa aku di sisa usia ini?

Hari ini sejak pagi aku dah 'ngisi' diriku dengan 'baterei' baru.Soalnya perlu 'energy' penuh untuk ngisi kegiatan ini itu.

Pagi-pagi setelah menyelesaikan sholat subuh, aku mengaji. Kebiasaan baru yang sudah kutanamkan sejak mulai hamil muda. Ditambah dengan malam hari sebelum tidur. Apabila di kedua waktu ini aku alfa mengaji, maka aku tetapkan dalam sehari harus ada mengaji.Tidak boleh tidak. Soalnya aku dah pasang target, sebelum 'jundi'-ku lahir dah harus khatam Al-Quran lagi. Ini bukan sok-sok:an, tapi aku memang lagi haus-hausnya belajar mengaji dengan tartil (cara baca yang benar).
Udah umur segini, aku baru tau bahwa selama ini banyak sekali waktu terbuang percuma dengan mengaji tanpa tau ilmu 'tartil yang benar'. Sekarang ini senang sekali mengetahui kalau bacaan diri sendiri itu salah, lalu punya ilmu untuk membetulkannya. Apalagi kalau ngedengar seseorang mengaji..terus bacaannya rasanya nggak bener, udah deh jadi gatel pengen ngebetulin.

Sejak jadi ibu RT, aku seperti diberi waktu dan kesempatan olehAllah swt untuk menggali ilmu baru. Yakni,mengaji. Ini bukan sekedar mengaji, tapi belajar hukum-hukumnya. Ada sahabat wanita di Sapporo,yang berjuang mencari guru ngaji dan bertemulah dengan 2 orang asli Arab Saudi yang mau mengajar aku, sahabatku itu dan beberapa muslimah lainnya yang menetap di sini.
Hampir 3 bulan kami belajar intensive dengan mereka. Walaupun dalam 'transfer' ilmu itu dilakukan dalam bahasa Inggris,tapi lucunya banyak sekali bahasa-bahasa Arab yang ternyata juga ada dalam bahasa Indonesia. Jadinya suka rame deh kalau nemu kata-kata yang sama. Ilmu lancar diserap, hubungan persahabatan pun merapat...

Ilmu yang mereka berikan 'cuma-cuma' itu sangatlah berharga bagiku. Ditambah lagi mereka kan asli Arab, pengguna bahasa Arab asli (hehehe,bolak balik...). Dalam Al-Quran surat 43 (Az Zukhruf) ayat 1-3, jelas ditulis bahwa Allah swt menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab supya kamu memahaminya. Maksudnya, kita disuruh belajar membaca dengan 'tartil'. Berikut memahami dan melaksanakan isinya.

Aku mengumpamakan diriku dah operasi mata ketika sekarang mengaji. Selama ini selalu buta....(tapi tidak bermaksud kepada saudara2 kita yang buta yaa...). Hanya seperti itulah aku merasa.
Ilmu yang sudah diturunkan oleh saudari-saudari seimanku tadi, harus sering dipraktekkan. Kalau merasa aneh ketika membaca maka kubuka buka 'ajaibku'. Buku catatan berisi hukum-hukum cara baca Al-Quran.

Daya penguasaanku dalam ilmu baru ini masih bisa dihitung sejengkal. Masih jauh dari sempurna dan perlu digali terus hingga sedalam bumi, seluas langit. Semangat ini harus tetap dinyalakan...biar tak lengkang oleh panas dan tak rusak oleh hujan (perumpamaan terakhir pasti ngaco..heheh). Hingga kelak cukup jadi 'pembelaku' dihadapan Allah swt.

Targetku dalam kehidupan ke depan adalah jadi guru ngaji. Mungkin bertahap dari lingkungan tempat tinggalku kelak.Tapi tidak mesti terbatas dari kalangan balita, aku targetkan usia muda dan tua. Aku ingin sisa usia ini mengabdikan ilmu baruku dan merujuk ke arah pemilik nyawa ini. Semoga........

Hari ini tulisanku nggak full banget rasanya. Agak capek, karena seharian ini aku mengajar Bahasa Jepang lewat internet. Udah ngantuk...tapi tanggung banget. Aku mengajar dari mulai jam 10 pagi sampai jam 13.30 siang. Diselingi makan siang, sholat tentunya. Mau tidur sesudah ba'da ashar,tapi waktu magrib sekarang cepat sekali tiba. Jam 4 lewat 4 menit sore hari,matahari sudah tenggelam..menyisakan malam. Nah daripada tidur, kupakai saja menulis blog ini. Sambil terus menerima silaturahmi di ruang chatting.

Selama mengajar lewat internet, aku duduk menghadap ke jendela ruang tengah apartemenku. Dari situ aku bisa melihat pemandangan salju yang melayang-layang jatuh ke permukaan bumi. Semua jadi serba putih, dalam sekejap.

Sebenarnya hari ini aku berniat olahraga--jalan santai--sambil ke kantor pos untuk bayar uang pemakaian gas, tapi ngeliat deru angin yang membuat salju jadi seperti 'angin ribut', ku urungkan niat. Mungkin tidak baik bagiku. Khawatir jadi kedinginan di luar rumah dan berpengaruh pada kondisi bayi dalam perutku. Jadinya, aku menatap saja deru angin yang berdansa dengan butiran-butiran salju.
Begitulah curhatku hari ini.........

Wednesday, November 22, 2006

Hadist Hari Ini

(kiriman dari sahabat Diana)

"Dikatakanlah - nanti ketika akan masuk syurga - kepada orang yang mempunyai al-Quran - yakni gemar membaca, mengingat-ingat kandungannya serta mengamalkan isinya: "Bacalah dan naiklah derajatmu - dalam syurga - serta tartilkanlah - yakni membaca perlahan-lahan - sebagaimana engkau mentartilkannya dulu ketika di dunia, sebab sesungguhnya tempat kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca,"

Maksudnya kalau membaca seluruhnya adalah tertinggi kedudukannya dan kalau tidak, tentulah di bawahnya itu menurut kadar banyak sedikitnya bacaan.

Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Termidzi dan Termidzi mengatakan bahwa ini adalah Hadis hasan shahih.

Sunday, November 19, 2006

Aku dan Bahasa Jepang

Hari ini usiaku bertambah lagi 1 tahun. Kalau dari pandangan mata sebagai muslimah (penganut agama Islam), maka usiaku berkurang 1 tahun dari yang Allah swt tentukan. Sekarang aku berusia 33 tahun. Alhamdulillah, karena mataku masih terbuka, nafasku masih ada untuk mengemban tugas hari ini dari sang pemberi nyawa.

Di usia ini aku ingin menulis tentang pertemuanku dengan Bahasa Jepang.Ini mungkin kesempatan yang baik untuk berbagi cerita kepadateman-teman dimana pun berada.

Sebenarnya cita-citaku adalah menjadi dokter. Usaha untuk mewujudkan cita-cita ini sebenarnya sudah ada. Sejak SMA aku sudah memilih jurusan biologi, dan alhamdulillah aku memang menyukai ilmu biologi. Pemikiranku sangat gampang dan sederhana, bahwa untuk bisa jadi dokter ya belajar biologi. Ketika ikut ujian UMPTN, rasanya aku pun punya kepercayaan diri. Untuk melatih kemampuan diri di bidang biologi, selain belajar serius di bangku sekolah, aku pun ikutan kursus ini itu.

Di saat orang lain sibuk ikut ujian di berbagai universitas swasta, sebagai antisipasi kalau-kalau gagal di UMPTN, aku tidak termasuk diantara mereka.Aku tidak terlalu mementingkan hal itu, dan aku baru tahu bahwa aku adalah manusia yang sombong. Merasa yakin bisa lulus ujian UMPTN dan targetku hanyalah Fakultas Kedokteran Unpad, Bandung. Wuiih...saat itu mana ku tahu kalau fakultas ini termasuk yang diminati oleh seluruh muda-mudi se Indonesia.

Mamaku bilang, garis keturunan keluarga kami tidak ada yang cenderung menguasai ilmu pasti seperti fisika, kimia dan biologi. Kebanyakan di bidang sejarah, bahasa dan ilmu diluar ilmu-ilmu pasti. Jadi mamaku merasa aku tetap harus coba ikut ujian di universitas swasta lain, jangan hanya cukup yakin bisa masuk Unpad. Tapi saat itu aku tidak terlalu memusingkan kekhawatiran mama. Bila aku bisa duduk dijurusan biologi SMA, itu cukup jadi bukti kalau sebenarnya aku punya kemampuan dibidang 'eksak'.

Respon papaku lain lagi. Beliau adalah tipikal ayah yang percaya kepada pilihan anak-anaknya. Papa tidak pernah memaksakan kehendak, mesti jadi apa kelak. Nasehat papa kepada kami yang terus kuingat adalah, 'Kalian bebas memilih jalan hidup, tapi bertanggungjawablah terhadap pilihan itu. Tugas orang tua adalah menyediakan fasilitasnya'. Maksudnya kala itu adalah,kalau aku ingin sekolah maka bersekolahnya dengan baik dan sesuai dengan isi hati. Sedangkan tugas papa dan mama adalah menyediakan dana untuk pendidikan kami.Kata papa lagi, 'menuntut ilmu itu adalah wajib dan merupakan tanda beriman kepada Allah swt'.

Kepercayaan papa kepada anak-anaknya yang membuat aku semakin 'besar kepala?'.Bukan salah papa, tapi memang aku adalah tipikal anak yang 'keras hati'.Itu penilaian mama loh. Kekerasan hati inilah yang kelak menjadi bekalku menempuh hidup di Jepang. Ternyata kekerasan hatiku, keseriusan diriku belajar untuk jadi dokter, tidak cukup untuk membuktikan bahwa aku mampu lulus UMPTN. Namaku tidak tertera sebagai peserta yang lulus ujian.

Semua kekerasan hatiku menjadi lelehan air mata, segukan demi segukan tangisan memenuhi isi kamarku.Kesombonganku untuk tidak mendaftar ikut ujian di universitas swasta tinggal jadi penyesalan. Aku pontang panting mendaftar ke berbagai tempat, tapi semua sudah telat. Rasanya aku adalah anak yang paling malang didunia. Harga diriku terbanting. Aku tak punya wajah untuk diperlihatkan kepada teman-teman se-SMA,teman-teman sepermaian, terutama kepada kakak dan adikku.

Mama memang benar. Aku malu hati. Hanya elusan tangan papa dan mama di kepalaku ketika isakan tangis tak jua reda yangjadi sandaran tulang punggungku yang terasa sudah lunglai. Papa tidak bersuara,mama tidak marah, beliau berdua tidak mengomel. Tidak mengatakan apa-apa, tapi mengajakku mencari informasi program kuliah apa saja di luar sana. Akhirnya aku memilih ilmu manajemen keuangan, bahasa inggris dan akuntansi di salah satu lembaga pendidikan diploma satu.Inilah awal sayap di punggungku berkembang.

Sungguh menyenangkan berkuliah di situ. Memang tidak bisa jadi kebanggaan apabila ditanya, 'kuliahnya di mana?'. Aku bahkan cenderung menutup-nutupi identitasku.Tapi sebenarnya aku sangat-sangat menikmati ilmu-ilmu yang kupelajari di situ.Aku belajar pembukuan, praktek menjadi sales barang-barang, juga belajar bahasa inggrisuntuk dunia bisnis. Satu tahun ku lalui dengan menyenangkan. Isi kelasku hanya 12 orang.Salah satu dari temanku adalah Diky Chandra, yang sudah jadi artis drama di Indonesia.Siapa yang menyangka, bahwa ilmu-ilmu ini akan muncul kembali mewarnai kehidupanku kelak. Menjelang lulus, mama bertanya lagi...berikutnya aku mau bagaimana?.Aku masih ingin kuliah, karena dengan ilmu yang sedang kutempuh itu pasti tidak cukup untuk mencari kerja. Tapi aku tidak tertarik lagi dengan dunia kedokteran.Setelah gagal di UMPTN aku tidak melatih diriku dengan ilmu-ilmu pasti yang diperlukan untuk ikut ujian tahun berikutnya. Jadi aku tidak mau 'setengah-setengah'. Berilmu pun tidak, mau coba-coba ujian yang sama. Hidup itu harus punya tujuan.

Akhirnya aku memutuskan untuk memilih jurusan bahasa. Mungkin teori mama tentangkemampuan keluargaku harus dipertimbangkan. Lagi pula setelah melewati 3/4 tahun di program diploma I itu, aku baru sadar dan punya 'feeling' bahwa dunia bahasa akanlebih menyenangkan. Tapi permasalahannya, aku tidak tertarik belajar Bahasa Inggris.Apalagi Bahasa Jerman, Perancis, China, apalagi sastra Indonesia. Entah bagaimana akhirnya ada kesempatan aku mengenal kata 'Sastra Jepang'. Kosa kata ini aku peroleh ketika aku mencari informasi tentang fakultas dan jurusan sastra di Unpad. Kenapa di Unpad?. Karena Unpad masih jadi 'papan nama' untuk mencari kerja nanti.

'Mau jadi apa nanti dengan belajar Bahasa Jepang?'. Lagi-lagi mama gelisah denganpilihanku. Tapi, lagi-lagi aku merasa yakin dengan pilihanku. Alasannya gampang,yakni rasanya keren kalau membaca buku bertuliskan huruf aneh di angkot. Kalau bacabuku bertuliskan 'how are you', 'my name is...' di dalam angkot, lalu orang yang duduk di sebelah melongok buku yang kubaca, pasti tidak ada kesan hebat. Nah, sekarang bayangkan kalau yang aku baca itu buku dengan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca oleh orang lain.Pasti orang-orang akan terkesan!!. Hehehehhe....membayangkannya saja sudah membuatku melayang-layang seperti burung. Hidungku sudah mengembang...

Mama tetap khawatir dengan pilihanku ini. Mama sarankan cari pilihan lain juga, tapi aku adalah aku. Tetap keras kepala (?)!. Tapi untuk menyenangkan hati mama, aku tidaklupa mendaftarkan diri di universitas swasta. Waktu itu aku yakin bahwa kali ini pasti lulus, karena aku tidak ikut ujian UMPTN. Hanya ikut ujian diploma tiga, Jurusan Sastra Jepang UNPAD. Persyaratannya gampang. Hanya ikut ujian Bahasa Inggris, Sejarah, dan bayar uang pembangunan agak besar sedikit. Waktu itu uang yang (uang papa)bayar hanya 500 ribu. Itu standar paling bawah dari kelipatan yang ditetapkan pihak universitas. Huuh...ini pun bagian dari kesombonganku?.

Ketika tiba waktu pengumuman kelulusan, aku bangun pagi-pagi dan sudah ribut carikoran Pikiran Rakyat-Bandung. Sambil deg-degan, aku telusuri nomor per nomor, mencarinomor ujianku. Dan ada!!!........kutunjukkan kepada mama, sambil merasa sayap di punggungku berkibar-kibar mengangkat tubuhku dari pijakan bumi. Respon seluruh keluarga tidaklah buruk.Tapi juga tidak terlalu menggembirakan. Aku yakin semuanya berusaha sensitif dengan kegembiraanku. Padahal mungkin biasa-biasa aja. Mungkin di kepala mama, adalah bagaimana setelah lulus aku nanti. Kala itu Bahasa Jepang tidak terlalu 'bergema' di tanah air. Udah capek-capek kuliah kalau akhirnya susah cari kerja, pasti akan jadi pemikiran orang tua lagi. Tapi aku tidak rasakan semua itu. Yang ada adalah bahwa aku senang sudah lulus. UNPAD pula!.Yang terpenting aku senang bahwa aku lulus di bidang ilmu yang ingin kupelajari. Mungkin, bila setahun lalu aku lulus ujian UMPTN di bidang kedokteran, beginilah rasanya ya!.

Pilihanku tidak salah. Belajar Bahasa Jepang itu menarik. Menarik sekali. Kalau di diploma tiga tidak terlalu belajar ke-sastra-an, tapi lebih ke ilmu praktis.Belajar sastra Jepang itu di tingkat S-1. Sedangkan di D-3 lebih kepada penggunaan bahasa Jepang untuk dunia kerja, dunia pariwisata, lebih kepada penggunaan keseharian. Teman-teman seangkatanku sangat-sangat enerjik. Aku duduk di kelas A. Anggota kelas ku itu adalah'manusia-manusia' yang super rajin, super bersemangat, super pinter. Semua berlombauntuk menguasai bahasa Jepang dengan baik. Yang punya IPK diatas 3,5 tidaklah sedikit. Hampir 95% dari isi kelas!. Yang dapat IPK 4 pun sekitar 5 orang. Cobalah bayangkan bagaimana menyenangkan berkuliah di saat itu.

Tahun pertama aku kuliah, masih belum ada gejala baik di dunia luar yang berhubungan dengan ilmu baruku.Semua berjalan tenang, tanpa riak. Tapi tahun ke-2, tiba-tiba muncul trend drama Jepang. Yang pertama kaliadalah tampilan drama 'Tokyo Love Story' di saluran tv Indosiar. Sebenarnya siapapun tahu, bahwa kita kenaldrama OSHIN. Hanya saja entah kenapa drama baru ini jadi angin segar bagi masyarakat Indonesia, tidak kalahmenarik daripada drama Oshin. Bersamaan dengan itu muncul animasi tv seperti 'Sailor Moon'. Buat aku dan teman-teman yang belajar Bahasa Jepang, adalah kesempatan untuk melatih kosa kata yang kamipelajari. Waktu itu drama Jepang tidak di-dubbing ke Bahasa Indonesia-seperti sekarang.Di kampusku sendiri, mahasiswa jurusan Bahasa Jepang jadi pusat perhatian. Jadi mahasiswa sastra Jepang saat itu adalah yang paling keren. Kami tidak ragu-ragu berbahasa Jepang di depan banyak orang, walaupun itu sedang berada di kantin, duduk-duduk di depan kelas, dalam bus, di mana saja. Pokoknya keren banget deh.Impianku baca buku dengan bahasa Jepang di dalam angkot pun jadi kenyataan.

Sekarang aku begitu merasakan manfaat dari ilmu yang kukuasai. Bahwa ilmu bahasa asing yang kusandang bisa menjadi 'jendela' untuk melihat dunia luar.Aku bisa datang ke Jepang, bisa beradaptasi dengan orang Jepang, bisa menjadi sumber penghasilan,bahkan sudah bisa mengajar pula untuk orang lain.

Tapi untuk menguasai sebuah ilmu bahasa seperti yang aku miliki saat ini bukanlah pekerjaan mudah.Sangat menguras tenaga dan pikiran. Juga memerlukan waktu yang tidak sedikit untuk panen.Tak terasa sudah 13 tahun lebih aku berkecimpung dengan Bahasa Jepang. Banyak 'hasil panen' yang kunikmati saat ini. Mamaku pun sekarang menjadi fans setiaku apabila ada anak muda yang mengutarakan niatnya ingin belajar Bahasa Jepang kepadaku. 'Biar bisa seperti Teh Novi', begitu mama selalu membanggakan diriku. Kunci untuk menguasai bahasa asing adalah latihan, latihan, latihan. Selain itu kalau memungkinkan adalah belajar ke luar negeri, tempat asal mula bahasa asing yang kita pelajari itu. Mungkin seumur hidup aku akan berlatih untuk mengasah ilmuku ini lewat berbagai cara. Aku ingin ilmuku tidak berhenti di sini.Aku ingin bisa menyebarkan ilmu yang merupakan amanah dari Allah swt ini.Agar banyak generasi muda di tanah air bisa melihat dunia lain seperti yang aku alami sekarang.

Belajar sebuah ilmu bahasa bukanlah pilihan yang buruk. Percayalah, bahwa ilmu bahasa, apapun itu jenisnya adalah penting buat hidup kita.Orang lain sering cemburu dengan kemampuan bahasa Jepangku. Tapi percayakah teman,bahwa aku pun salut dengan orang-orang yang memiliki ilmu bahasa indonesia. Mengapa begitu?.Karena aku banyak sekali berkecimpung dengan dunia kerja terjemahan. Setiap mengerjakan terjemahan,aku sangat-sangat memerlukan kemampuan menguraikan makna yang dimaksud ke dalam Bahasa Indonesia.Aku merasa saat ini aku perlu belajar ilmu editing Bahasa Indonesia. Berbahagialah kaum muda yang memiliki kemampuan berbahasa asing, dan juga yang berkecimpung dalam dunia editing di tanah air. Begitu banyak buku-buku asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa kita lalu di edit dengan baik. Semua itu tak lain agar siapa pun bisa mengambil makna yang tersurat dalam kalimat-kalimat asing.

Aku masih perlu banyak belajar untuk menguasai Bahasa Jepang. Karena bagiku 'Bahasa adalah Jendela Dunia'.

Thursday, November 16, 2006

"HATSU YUKI"

Hatsu itu artinya pertama. Sedangkan Yuki bermakna salju.
Jadi Hatsu Yuki adalah Salju Pertama.

Minggu tanggal 12 lalu, adalah turunnya Hatsu Yuki di Sapporo.Hari itu jam tanganku menunjukkan angka 12.30 siang.Aku sedang melangkahkan kaki ke arah stasiun Soen, stasiun kereta api terdekat dari komplek apartemen tempat tinggalku. Hari itu aku ada tugas pergi mengajar bahasa Indonesia.

Hatsu Yuki sudah turun...padahal masih terhitung bulan November. Bulan ini di belahan lain Jepang masih diwarnai oleh suasana musim gugur. Daun menguning...gemerlapan seperti cahaya emas. Bercampur dengan warna-warna merah tua, coklat dan oranye. Tapi tanggal 12 ini, jadi saksi bahwa Sapporo akan segera bersolek dengan putihnya warna salju.

Bagiku Hatsu Yuki bukanlah di Sapporo ini, tapi adalah ketika aku menetap di Kota Kyoto. Tahun 1999,pertama kali merasakan terpaan salju yang melayang-layang dan menerpa wajahku. Sungguh membuatku terharu. Salju yang turun mampu memutihkan pemandangan di sekitar tempat tinggalku,membawa hatiku menjadi romantis..membuatku menulis puisi tentang keindahan salju. Pernah juga aku menangis karena tidak kuat menahan perasaan luar biasa atas penciptaan Allah swt ini.

Putih...dingin...terasa indah.
Ketika 'kapas-kapas' dingin itu melayang-layang di udara.
Ada rasa haru menyelimuti hati .
Ketika ku melangkah di bawahnya.
Bila digenggam maka ia menghilang.
Bila dipandang maka ia seperti kristal yang gemerlap.

Walaupun turunnya salju hari minggu ini sebenarnya bukanlah Hatsu Yuki bagiku, tapi tetap menjadi Hatsu Yuki sejak aku menetap di Sapporo. Sapporo........adalah kota salju.

Terus terang kehidupan di Sapporo di musim dingin, tidak bisa dikatakan menyenangkan. Ketika aku menginjakkan kaki di kota ini, Februari 2005, yang pertama kali menjadi kenangan adalah lapangan terbang yang diselimuti karpet salju. Aku terbang dari Bandara Haneda-Tokyo menuju Bandara Shin Chitose-Sapporo. Ketika akan boarding, aku ternganga melihat angka temperatur kota Sapporo hari itu. Minus 11 derajat celcius !.
Sebelum menikah dengan kang Diky,aku pernah menetap selama 7 tahun di beberapa kota di Jepang. Selama itu sudah 7 kali pula aku melewati musim dingin. Tapi belum pernah merasakan dinginnya temperatur dibawah 11 derajat. Kota terakhir tempatku tinggal, yakni Kota Kyoto-Pulau Honshu, adalah kota yang dikelilingi gunung (istilahnya 'Bonchi'). Kalau sedang musim panas, maka hawa panas akan mengepung kota itu. Sebaliknya, ketika musim dingin, maka Kota Kyoto akan menikmati turunnya salju. Tapi sedingin-dinginnya Kota Kyoto, belum pernah sampai di bawah 5 derajat. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa sih hidup di kota bertemperatur minus 11 derajat.

Penerbanganku dari Haneda ke Shin Chitose, diwarnai oleh pemandangan menarik. Banyak sekali muda-muda bertampang bule yang menggotong peralatan besar. Seukuran papan selancar. Tapi masak sih, di musim dingin begini mau berselancar??...Dan mereka banyak sekali jumlahnya. Setelah tinggal di Sapporo, barulah aku tahu bahwa yang aku lihat waktu itu adalah papan skate board, tongkat ski, dan lain-lain. Muda-mudi itu kebanyakan berasal dari Australia dan Kanada.

Penerbangan dijadawalkan menghabiskan waktu 45 menit. Seharusnya....Tapi tiba-tiba pilot mengumumkan bahwa kemungkinan pesawat masih harus bersabar beberapa menit lagi melayang di udara, karena kondisi lapangan terbang tertutup salju dan tidak siap untuk dijajaki. Jadi harus di'sapu' dulu...hehehehe. Saat itu muncul sedikit ketakutan pada diriku. Rasanya salju itu 'osoroshii mono' (benda yang mengerikan). Anggapanku selama ini bahwa salju itu indah, membuatku romantis, ternyata punya sisi lain yang belum pernah kurasakan. Mungkin Allah swt mentakdirkan aku akan menetap di Sapporo adalah, sebagai salah satu tempat tinggal yang cocok untuk belajar melihat salju dari sisi lain.

Sekitar 10 menit, pesawat melayang-layang di udara....Akhirnya tiba waktunya pesawat yang kutumpangi bisa mendarat.Pemandangan dari jendela dalam pesawat adalah seperti di negeri dongeng "Narnia". Benar-benar putih. Dengan pohon-pohon gundul..kedinginan. Salju-salju yang berterbangan diterpa angin. Seperti film-film tentang kutub utara. Aku pasrah kepada Mu ya Allah.

Bertemu dengan suami tercinta yang telah menunggu di lobby kedatangan di Bandara Shin Chitose, membuatku tenang. Kang Diky....akhirnya kita ngumpul juga ya..

Kang Diky adalah pemandu yang baik. Aku diajari banyak hal tentang kehidupan di Sapporo. Aku diajak menikmati Festival Pahat Es. Di ajak main ski. Diajak melihat pingguin dan beruang kutub. Kang Diky selalu memegang erat tanganku ketika berjalan di atas tumpukan salju, karena ada kemungkinan terpeleset (dan memang pernah!).
Hingga kini aku suka nervous dan kecil hati hidup di Sapporo. Tiada lain karena salju yang terus menerus turun selama lebih dari 3 bulan. Berjalan di atas tumpukan salju bukanlah hal yang gampang. Perlu kesabaran, perlu kehati-hatian. Sampai ada petunjuk tentang olahraga ringan sebelum dan sesudah berjalan di atas salju. Badan pegal-pegal, bahu menjadi kaku setelah berjalan di atas jalanan penuh salju. Bayangkan saja cara pingguin berjalan...mungkin seperti itu.
Belum lagi masalah patah tulang karena tergelincir.Tidak sedikit kesulitan yang dihadapi oleh penduduk kota ini. Atap rumah yang ditumpangi tumpukan salju, dan harus dikeruk. Kalau dibiarkan maka akan membuat atap rumah rusak. Garasi mobil yang tidak bisa dibuka karena terhalang tumpukan salju.
Di sepanjang jalan, ada box kerikil. Boleh diambil oleh siapa pun untuk disebar di sepanjang jalan. Kerikil itu berfungsi untuk mempermudah pejalan kaki atau pengguna sepeda untuk menapaki jalanan yang licin karena salju. Disamping itu masih banyak hal-hal menarik, seperti sepatu anti slip, ban mobil anti slip,cara mengemudi yang cocok dengan kondisi jalanan di musim dingin, belum lagi harus berperang dengan derunya terpaan angin salju. Namun sisi jelek pun ada. Pertanian yang gagal karena musim dingin yang berkepanjangan.

Salju telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Kota Sapporo. Dan akutelah menjadi bagian dari kehidupan baru ini.

Ini tahun ke 2 aku menghadapi musim dingin di Sapporo.Dan tahun ini menjadi PR buatku, agar bisa lebih cerdas menjalani kehidupan di Sapporo. Apalagi nanti calon anak kami lahir di musim bersalju ini. Sebuah tantangan besar. Walaupun dalam diriku masih tersisa ketakukan berinteraksi dengan salju, tapi bagaimana pun semua ini harus dihadapi.
Oh, Hatsu Yuki.....selamat datang.
foto-foto diambil pada musim dingin tahun lalu
Feb akhir 2005
Foto 1: Snow Street, dalam kampus kang Diky
Foto 2: Di Festival Pahat Es, dilatarbelakangi
pahatan terbaik 2005
Foto 3: Di Tanuki Koji-down town, snow man

Tuesday, November 07, 2006

Cerber: Pagar hati dan raga (ending)

Setelah masa libur sekolah selesai, maka berakhir pula kehidupan mentoringku.Ada kebingungan dalam diriku. Bagaimana dengan profile baruku ini. Muslimah berjilbab?.Aku sudah terbiasa, tapi rasanya tidak ada alasan untuk meneruskan profile baru inike dalam kehidupan sebelumnya. Entah mengapa aku harus punya alasan jelas kenapa memakai jilbab.Itu apabila ada teman-teman SMA-ku bertanya. Atau apabila ada kenalan orang tua dan tetanggayang bertanya tentang perubahanku. Akhirnya karena tidak menemukan alasan yang jelas itu, kulepas jilbabku, kembali ke kehidupan muslimah remaja dengan gaya baju kebarat-baratan.

Aku terhenyak dari lamunanku. Terlempar ke tahun 1998, 3 tahun sebelum aku mendapat hidayah untuk berjilbab.Aku sedang berada di dalam sebuah mobil, dengan seorang lelaki Jepang yang biasa ku panggil'Pak Imam'. Seorang dokter internist, memiliki keluarga yang sangat dikenal dikalangan siswa-siswaIndonesia di kota Shizuoka. Nama panggilan itu diberikan oleh seniorku, dan jadi panggilan sayang seluruhorang Indonesia di kota Shizuoka,tempatku belajar bahasa Jepang.

Pak Imam bertanya padaku, 'Novi-san, kenapa Ita-san sekarang tidak berjilbab lagi?.Apakah jilbab itu benda yang gampang di pasang dan di lepas?. Tuhan kalian tidak marahkah?'.Waduh, aku mesti menjawab bagaimana. Yang dibicarakan Pak Imam, yaitu Ita-san adalah seniorku.Aku biasa panggil dengan sebutan 'Teh Ita'. Orangnya sangat supel, aktif, banyak teman, wanita yang berpikiranpositif, bicara ceplas ceplos dan selalu tertawa lebar.
Teh Ita itu tiba-tiba kembali datang ke Jepang setelah beberapa saat berada di tanah air. Kali dengan tampilan baru, berjilbab. Kami, teman-temannya merasa sedikit khawatir dengan perubahannya.Karena 'image' teh Ita itu terlalu berlawanan dengan 'image' muslimah yang seharusnya.

Teh Ita selalu berbicara dengan banyak orang bahwa jilbab itu tidak akan menghalanginya dapat pekerjaandi Jepang. Dan dia membuktikan bahwa dia memang gampang sekali mendapatkan pekerjaan. Aku sampai salut padanya.Tapi perubahan itu hanya sebentar, karena tiba-tiba Teh Ita kembali pada penampilan awalnya. Alasannya karena dia perlu pekerjaan baru yang lebih banyak uangnya, dan itu adalah bekerjasebagai pelayan di restoran. Bekerja sebagai pelayan adalah bertemu dengan tamu, melayani tamu.Untuk itu tidak mungkin menggunakan jilbab, sebuah peraturan yang dibuat manusia tanpa hukum yang jelas.Yang lebih menyedihkan adalah peraturan ini tidak hanya berlaku di Jepang, tapi juga di Indonesia.

Sebenarnya banyak sudah kudengar bahwa teman-teman wanita seiman yang terpaksa membuka jilbabnya setelah tiba di Jepang.Hal ini terpaksa dilakukan karena susahnya mendapatkan pekerjaan lepas waktu di Jepang dengan penampilan seperti itu. Padahal untuk bersekolah di Jepang kami perlu mencari penghasilan sendiri, hal ini berlaku untuk orang-orang yang kuliah ke Jepang tanpa beasiswa.Kesempatan kerja paruh waktu di negeri sakura ini banyak sekali dan bisa jadi sumber penghasilanyang menjamin bayaran sekolah dan belanja kebutuhan sehari-hari. Surga dunia. Tapi, ternyata menyebabkanwanita berjilbab yang terpaksa melepaskan jilbabnya, mengorbankan rasa cinta kasihnya kepada Allah swt. Aku tidak tau apakah itu merupakan pilihan yang baik?. Yang aku yakini sekarang ini adalah, keputusan membuka jilbab demi sesuap nasi dan membayar uang sekolah bukanlah keputusan yang gampang.

Aku kembali tidak punya jawaban yang baik dan logis untuk pertanyaan Pak Imam tadi.Semuanya kututup rapat-rapat dalam hati. Pertanyaan itu lebih pantas dijawab oleh Teh Ita, karena dialahyang paling tahu kondisi hatinya.

Lalu mengapa aku tiba-tiba berjilbab?. Karena selama 10 tahun aku terus menyandang rasa sesal telah melepaskan 'pagar hati dan jiwa' yang pernah kutemukan di masa SMA. Kedamaian hati yang pernah kuperoleh dari Allah swt .Aku merasa telah menyia-nyiakan umurku tanpa 'pagar hati dan jiwa' itu. Rasa gersang dan garing yang kurasakan selama kehidupanku di Jepang ini, telah membuka mataku, menyentuh kalbuku dan memberikanku kekuatan jiwa untuk mempertegas kembali bahwa 'aku adalah muslimah'. Aku ingin mereka-orang Jepang tidak menginjak-nginjak nilai agamaku. Aku tidak ingin mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang plin plan gara-gara ketidakjelasan identitas yang kusandang. Mungkin yang terpenting adalah aku ingin menjalankan tugasku sebagai seorang muslimah. Bukan sekedar untuk menjadi contoh, ilham bagi yang lainnya, tapi tulus ingin memperoleh perlindungan dari Allah swt. Akhirnya semua ini sampai pada suatu kesadaran untuk mempertanggungjawabkan jati diriku sebagai muslimah.

Allah Ta’ala berfirman:
Aku sesuai de-ngan persangkaan hambaKu kepadaKu, Aku bersamanya (dengan ilmu dan rah-mat) bila dia ingat Aku. Jika dia meng-ingatKu dalam dirinya, Aku mengingat-nya dalam diriKu. Jika dia menyebut namaKu dalam suatu perkumpulan, AKu menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mende-kat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat ke-padanya sedepa. Jika dia datang kepa-daKu dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat”. (HR. Bukhari-Muslim).

Hanya saja yang aku rasakan adalah perlunya keberanian dan keikhalasan untuk berjilbab.Keberanian ini menyangkut konsistensi muslimah untuk terus berjilbab, setelah ditutup tidak dibukakarena kondisi sekitarnya. Walaupun itu menyangkut pekerjaan, hubungan dengan kekasih, teman, atauhal-hal lain yang tidak bisa begitu saja diabaikan.

Ketika memutuskan berjilbab di negeri non-muslim ini,aku sudah letakkan prediksi terburuk di kepalaku, yakni kehilangan pekerjaan yang ada saat itu. Jenis pekerjaan yang banyakberhadapan dengan tamu. Aku memohon kepada Allah swt untuk memberikan yang terbaik bagiku, karenaaku percaya pada-Nya. Maka ketika aku berjilbab, kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan itu tidak terbukti sama sekali. Sungguh membingungkan. Apakah benar bisa semulus ini hidupku?.

Tahun 2001 September aku berjilbab, hingga tahun 2004 aku meneruskan hidup di Jepang .Tidak pernah ada satu kasus pun aku kehilangan pekerjaan . Bahkan, jumlah rejeki yang diberikan Allah swt kepadaku semakin bertambah. Rejeki bukan hanya uang, tapi semua kemudahan dalam menjalani hidup ini. Semua jalan di depan mataku seolah terbuka lebar untuk berkarya. Sungguh menakjubkan. Sungguh memberi kedamaian hingga saat ini. Sungguh menguatkan diriku untuk bangga menyandang identitas bahwa 'aku adalah muslimah'. Subhanallah.

Bila kita bersangka baik kepada Allah swt maka Allah swt pun akan memberikan kita yang terbaik.

Insya Allah.
Semoga bermanfaat.
Pengalaman nyata dari Novi Mudhakir
*Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah swt karena telah bertambah anggota keluarga yang berjilbab, yakni kak En tercinta.