Tuesday, November 28, 2006

Kyabakura-Jo, Hosuto...sisi kelam masyarakat Jepang

Dalam sejarah perang dunia, ada satu sisi kelam yang hingga saat ini terus menerus mendapat sorotan dari banyak kalangan. Yakni masalah 'Jungun Ianfu'. Istilah ini ditujukan untuk para wanita di negara jajahan yang melayani tentara Jepang dalam pemenuhan kebutuhan seks mereka.
Keberadaan para wanita tersebut tidak hanya ada di negara kita-Indonesia saja, tetapi juga di negara Asia lain seperti Korea, China, Malaysia dan lainnya. Perjuangan para wanita-wanita ini masih berada di pertengahan jalan dalam meraih keadilan, padahal usia terus menggerogoti mereka. Tak sedikit hingga hayat di kandung badan lepas, para wanita ini harus membawa kenangan pahit itu hingga ke liang kubur.
Masih banyak dari kalangan mereka sendiri atau keturunan mereka yang terus menuntut Pemerintah Jepang untuk mengakui kebejatan moral para mantan tentara perangnya.Tuntutan para wanita ini sudah dijawab oleh Pemerintah Jepang dalam bentuk uang kompensasi, sebagai pengganti 'terengutnya masa muda yang indah dengan cara paksa, juga sebagai upaya penyembuhan luka masa lalu'. Tapi sayangnya, hal penting yang seharusnya diakui sebagai rasa malu telah memperlakukan wanita yang dimata Allah swt diletakkan di tempat yang agung, tidak juga keluar dari seluruh mulut para mantan tentara Jepang yang masih hidup hingga saat ini. Mungkin para wanita itu menjerit: kalau perlu para mantan tentara Jepang ini sebaiknya melakukan 'harakiri'(robek perut) sebagai upaya intropeksi diri. Ternyata tidak semua laki-laki Jepang berjiwa 'Bushi' seperti yang bisa kita lihat di film 'Samurai'.
Tapi, aku bukan untuk membahas hal-hal di atas. Ada hal lain yang mungkin lebih menarik untuk di tampilkan. Menarik, bukan berarti untuk ditiru, atau diteladani. Menarik untuk difikirkan dan karena keprihatinanku sendiri. Hal yang ingin aku ceritakan masih ada kaitannya dengan hal-hal di atas. Merupakan pengamatanku selama hidup di Jepang.
Tahun 1997 aku datang ke Jepang sebagai pelajar. Selama 2 tahun pertama kehidupan di Jepang ini, aku tidak punya waktu banyak untuk mempelajari kehidupan masyarakat Jepang. Waktu 2 tahun pertama harus kulalui dengan kegiatan belajar, bekerja, belajar dan bekerja.
Tahun 1999 aku pindah ke Kota Kyoto dan menetap di sini hingga Maret 2004. Sebuah kota yang kental dengan adat istiadat Jepang masa lalu. Tinggal di kota ini seperti kena 'time sleep'. Di kota ini ada kurang lebih 1000 buah kuil. Dari yang ukurannya kecil hingga yang seluas Plaza Indonesia di Jakarta. Dalam 1 tahun dengan pergantian 4 musim selalu diwarnai dengan berbagai macam festival. Lewat berbagai festival itu, Pemda Kyoto bisa menarik keuntungan uang yang tidak sedikit. Tidak hanya itu kebaikan yang bisa diambil oleh Pemda Kyoto, tapi juga nama kota itu bisa dikenal di seluruh dunia. Menjadi obyek wisata yang diminati wisatawan dalam negeri dan juga luar negeri. Dengan mengikuti prosesi setiap festival yang dilaksanakan dalam 1 tahun, aku bisa banyak belajar tentang Jepang. Kota Kyoto ini pernah menjadi ibukota darurat pengganti Tokyo. Kyoto adalah Kota Yogyakarta, dan Tokyo adalah Kota Jakarta. Seperti itu aku selalu membuat perbandingan.
Bagiku kota Kyoto seperti manusia bermuka 2. Bersisi wajah kehidupan masa lalu yang terus dipertahankan, dan kehidupan modern yang terus berkembang. Di pusat kota, ada sebuah sungai besar yang panjang membelah kota hingga tersambung dengan kota Osaka. Dikenal dengan sebutan 'Kamogawa' atau 'Sungai Bebek'. Bila menelusuri sungai ini hingga ke pusat kota, maka kita bisa menemui kehidupan masa lalu yang dipertahankan itu. Pusat kota ini dikenal dengan sebutan Kawaramachi Dori. Di sekitarnya ada wilayah bernama Pontocho. Di wilayah ini berderet rumah makan yang kental dengan nuansa Jepang. Mulai dari bentuk bangunannya, jenis masakannya, bahasa yang dipergunakan, tata krama pelayanannya, semuanya. Aku pernah ditraktir makan di salah satu restoran di situ, tapi bagiku mahal sekali. Aku juga bekerja paruh waktu di wilayah itu, sehingga bisa melihat dan mendengar langsung kepuasan setiap tamu yang melewatkan waktu mereka dengan makan-makan di sana. Ada prestise tersendiri bila menjadi tamu di wilayah Pontocho ini.
Di wilayah Pontocho ini pun ada 'Desa Geisha'. Aku sengaja menuliskan kata-kata Geisha, supaya yang membaca tulisanku ini gampang menggambarkan profile wanita Jepang yang menggunakan kimono,bermake-up putih dengan konde khasnya. Aku menggunakan kata 'desa' karena memang di wilayah ini bisa kita temui lokasi tempat tinggal wanita-wanita berprofesi Geisha . Tapi tunggu dulu!. Aku tidak ingin imajinasi pembaca tentang Geisha ini menjadi negatif. Aku ingin berbagi sedikit pengetahuan tentang Geisha. Bukan uraian panjang lebar, tapi hanya memperkenalkan makna huruf Kanji dari 'Geisha' itu sendiri. Geisha itu bermakna 'orang yang bisa berkesenian'. Jadi Geisha itu adalah seorang wanita yang bisa menari dan memainkan alat musik tradisional Jepang.Bukan pelayan seks seperti yang aku bayangkan selama ini. Selain kata 'Geisha' juga ada kata 'Maiko'dan 'Geiko'. Semua kata-kata ini adalah sebuah profesi. 'Maiko' adalah 'wanita muda yang bisa menari', sedangkan 'Geiko adalah 'senior' daripada Maiko, yang tidak hanya bisa menari tapi juga memainkan alat musik'. Sedangkan Geisha adalah 'senior' daripada keduanya. Senior dalam artian pengalaman dan umur. Untuk menjadi seperti mereka ini harus melalui sebuah sekolah khusus, sekolah kejuruan. Jadi bukan'tiba-tiba jadi' loh.
Restoran Jepang, Desa Geisha, menjadi obyek wisata di kota ini. Bila ada kesempatan dan tentunya uang, anda bisa mencoba memakai baju seperti Geisha dan berjalan-jalan di sekitar kuil sambil berfoto. Sebuah paket wisata yang lengkap dan menyisakan kenangan indah tentunya.
Kemudian yang kusebut dengan wajah ke 2 adalah dunia hiburan malam bergaya modern. Bar atau 'snack' yang lengkap dengan wanita-wanita muda penghibur. Kemudian ada juga laki-laki berpakaian jas rapi, berdiri di masing-masing bar tempat mereka bekerja sebagai penarik tamu. Para laki-laki ini berdiri di depan pintu masuk setiap bar, sambil tersenyum ramah kepada para pejalan kaki yang lewat di depan wilayah mereka. Mereka akan berusaha berkali-kali menghadang pejalan kaki sambil merayu untuk mampir ke bar mereka.'Di tempat kami ada nona-nona manis loh Pak, Mas'. 'Di tanggung anda puas deh'. Aku yang mendengar kata-kata itu merasa jengah. Aku jadi merasa wilayah ini tidak bagus untuk dilewati. Tapi aku punya kepentingan untuk melewatinya, karena wilayah itu adalah bagian dari pusat keramaian kota.
Bar atau 'snack' yang aku maksudkan di atas hanya diwakili sebuah pintu saja. Tidak bisa diintip dari luar. Jadi, promosi tentang wanita-wanita penghibur di dalamnya tidak bisa diketahui dengan jelas, kecuali kalau kita masuk ke dalamnya. Tapi aku jelas tidak mungkin masuk ke dalamnya. Haram!. Jelas haram. Selain rayuan para lelaki yang berdiri berjam-jam di luar bar, ada juga bar yang meletakkan poster para wanita dengan gaya berpakaian yang sangat-sangat merangsang. Aku pun tidak punya keberanian mengatakan bahwa poster para wanita itu sama dengan yang di'pajang' di dalam bar itu sendiri.
Aku selalu penasaran seperti apa kehidupan malam di kota ini. Terus terang saat itu aku merasa dihianati.Di satu sisi aku bangga tinggal di kota ini, aku bisa belajar banyak hal yang bersejarah dan sangat menarik.Tapi mengapa harus di'coreng' dengan kehidupan malam yang benar-benar 'terbuka', tidak 'transparan'. Sebenarnya aku juga lebih merasa dihianati lagi dengan kehidupan masyarakat Indonesia, yang mengaku masyarakat beragama tapi sok suci dengan pura-pura tidak peduli terhadap kehidupan malam yang tidak berbeda dengan yang kutemui di Jepang.
Melalui media televisi aku akhirnya bisa mengenal juga kehidupan malam di Jepang secara umum.Tidak hanya terbatas di kota Kyoto saja. Tapi hampir ada di seluruh kota dan desa di Jepang.Ada istilah 'Kyabakura-Jo' bagi wanita-wanita muda penghibur di bar atau 'snack', dan 'Hosuto' bagilaki-laki muda penghibur. Di setiap bar, ada tokoh 'mama', yakni seorang wanita cantik separuh baya yang menjadi manajer bahkan pemilik bar.
Sejak ratusan tahun yang lalu, di Jepang dikenal profesi wanita penghibur yang disebut 'Oiran'. Hiburan yang disajikan bukan tari dan gerak, tapi sebagai pemuas nafsu seks lawan jenisnya.Kemudian hal ini berkembang ke abad 20, dan muncullah istilah-istilah lebih modern dan menjadi sebuah profesi yang diminati habis-habisan oleh wanita-wanita muda Jepang. Yang aku maksudkan adalah sebutan 'Kyabakura-Jo'. Aku tidak tahu apakah bekerja sebagai Kyabakura-Jo sama seperti 'Oiran' zaman dulu. Tapi, berprofesi sebagai Kyabakura-Jo berarti akan menghasilkan uang yang banyak. Dalam usia 20-30 tahunan, sudah bisa menjadi mesin uang untuk diri sendiri. Bisa membeli apa pun yang diingini. Tidak sedikit mereka mendapatkan hadiah dari para tamu berupa barang-barang kecil berupa baju, tas, jam tangan yang bermerk mahal hingga benda besar seperti bangunan apartemen, mobil dan lain sebagainya. Bahkan ada juga tamu yang menyelipkan uang 10 ribu yen di setiap halaman buku setebal 200 halaman, sebagai hadiah atas layanan yang telah diterimanya dari sang gadis penghibur.
Profesi sebagai gadis penghibur di zaman modern ini tidak lagi menuntut kecantikan dan kemolekan tubuh, walaupun tetap menjadi hal penting. Tetapi yang dituntut dari seorang Kyabakura-Jo adalah kecerdasan, memiliki pengetahuan luasseperti halnya penyiar tv atau mungkin reporter koran dan majalah. Harus bisa menjadi 'kamus ilmu pengetahuan umum' yang bisa meladeni pembicaraan setiap tamu yang ingin berkeluh kesah tentang dunia bisnis, dunia kedokteran,dunia musik, atau apa saja. Bahkan di bar-bar berkelas tinggi, para Kyabakura-Jo memiliki kemampuan berbahasa asing. Seorang Kyabakura-Jo yang memiliki kemampuan lengkap seperti yang telah kujabarkan, maka dia akan mampu bertahan sebagai 'Number One', dan ini ada kaitannya dengan keuntungan pribadi dan bar tempat ia bekerja. Seorang Kyabakura-Jo kelas atas mampu membeli sebuah mobil Jaguar terbaru hanya dalam hitungan gaji dan bonus minimal 1-3 bulan. Tapi seorang Kyabakura-Jo yang tidak mampu bersaing, harus menerima kenyataan pahit, yakni dipecat dari pekerjaannya.
Kesimpulan yang bisa kutarik adalah, profesi Kyabakura-Jo telah dianggap tidak kalah penting seperti halnya profesi karyawan di dunia bisnis normal. Entah berapa ratus bar yang ada di sebuah wilayah perkotaan besar, dan keuntungan dari bisnis ini tergantung daripada kemampuan para Kyabakura-Jo mempertahankan kehadiran seorang tamu. Persaingan antar bar sangatlah ketat, sehingga apabilaterpilih sebagai 'Kyabakura-Jo Number One' di wilayah tersebut adalah hal yang membanggakan.
Ada satu lagi profesi sejenis di dunia hiburan malam, yakni 'Hosuto'. Seperti yang telah kujelaskan di atas, bahwa Hosuto ini adalah hostess laki-laki. Apabila para Kyabakura-Jo bersolek dan berpakaian mahal lagi indah, maka para Hosuto pun tidak kalah menarik. Mereka biasanya bermodalkan jas modern yang tentunya mahal, kemudian bergaya rambut terkini, memakai wangi-wangian, berperawakan kurus dan lembut, berwajah manis, dan siap berlutut merayu-rayu tamu wanita yang hadir. Target mereka adalah para tamu wanita tersebut memesan minuman beralkohol termahal yang dijual di setiap bar mereka. Dimana harga satu botol minuman itu bisa sampai ratusan juta atau mungkin 1 milyar rupiah. Wanita-wanita yang datang tidak hanya wanita separuh baya berduit yang mencari 'kehangatan' di luar rumah, tapi juga wanita-wanita mandiri yang memang memiliki penghasilan banyak, atau wanita muda anak orang kaya, atau karyawan di sebuah perusahaan biasa yang masih single dan mati-matian berhemat agar bisa 'menyewa' sang Hosuto.
Menjadi seorang Hosuto harus mampu 'minum' alkohol selama jam kerja tanpa mabuk. Dibalik 'kegagahan' para Hosuto ini ketika melayani tamunya, sebenarnya tidak sedikit yang harus dikorbankan. Terutama kesehatan mereka. Sering ditayangkan di televisi, bahwa seorang Hosuto ternyata akan terkapar di pagi hari karena over-dosis alkohol.Kebanyakan dari mereka pun sudah mengidap penyakit paru-paru, pencernaan dll yang parah karena kadar alkohol yang dikonsumsi sudah melewati ambang normal. Untuk mempertahankan kesehatannya, seorang Hosuto harus bolak-balik ke dokter untuk meminta obat khusus. Setiap kali dokter mengingatkan untuk mengurangi kadar alkohol yang diminum, maka setiap kali pula sang Hosuto mengeluarkan uang banyak untuk menerima jatah obat bulanan dari sang dokter. Yang membuatku tak habis pikir, mengapa profesi ini tidak dihilangkan saja?. Yang terpikir olehku hanya satu, yakni berlaku hukum 'bagi untung' antara pasien dan dokter!. Sehingga nasehat dokter hanya menjadi kicauan burung gagak yang tidak perlu didengarkan. Dari pihak dokter sendiri, mungkin nasehat yang diberikannya hanya semacam 'kewajiban' tapi tidak perlu dituruti.
Selain kesehatan yang harus dikorbankan, tidak sedikit cerita yang mengharukan disandang oleh seorang Hosuto. Pilihan hidup sebagai seorang Hosuto adalah jalan hidup yang aku yakini tidak normal. Ada semacam keterpaksaan dalam menjalaninya. Dari sekian ratus ribu Hosuto yang berkeliaran di seluruh antero Jepang, tidak sedikit yang sebenarnya berstatus mahasiswa. Tertarik dengan ratus juta yen yang melayang-layang dari kantong para tamu yang dilayani, merupakan penyebab utama mereka memilih profesi ini. Kemudian, rasa ingin mendapatkan gaya hidup mewah tanpa perlu kerja seumur hidup di sebuah perusahaan. Tetapi ada juga yang terpaksa bekerja sebagai Hosuto karena merasa bertanggung jawab untuk menghidupi anggota keluarganyayang cacat, orangtuanya yang sudah jompo, dan lain sebagainya. Kebanyakan dari para Hosuto ini 'menyembunyikan' identitas asli mereka di depan sanak keluarganya. Sehingga anggota keluarga yang berada di kampung hanya menyakini kalau anak mereka bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang salary-man (karyawan).
Setahun belakangan ini sudah ada trend baru di dunia hiburan televisi. Yakni, kemunculan seorang mantan Hosuto yang menjadi selebriti. Di satu sisi, mungkin trend ini jadi kiblat baru untuk Hosuto-Hosuto lain agar kelak bisa mengikuti jejak seniornya yang kita berkibar di layar tv. Tapi aku terhenyak ketika mengetahui lewat media tv, bahwa selama ini ayah dan ibu sang selebriti tidak pernah tahu bahwa anaknya adalah mantan Hosuto. Sang ibu hanya bisa pasrah dan akhirnya 'menghormati' pilihan hidup anaknya.
Seperti halnya Kyabakura-Jo, maka di dunia Hosuto pun dikenal istilah Number One. Tidak hanya Number One se-bar, tapi juga ada kompetisi untuk menjadi nomor satu di seluruh Jepang. Kompetisi gila!, tapi nyata. Kompetisi ini ditayangkan di media tv Jepang, dan menjadi contoh bagi yang muda-muda. Maka terbentuklah lingkaran setan di dalam generasi muda Jepang untuk meniru senior-senior mereka untuk berprofesi sebagai Kyabakura-Jo atau Hosuto.
Kyabakura-Jo dan Hosuto, dua profesi yang masih akan terus diminati oleh anak muda Jepang yang ingin hidup senang dengan jalan pintas. Tidak ada diskriminasi jenis kelamin, perawakan wajah dan tubuh untuk menjadi seperti mereka. Asalkan mereka serius dan mau 'berjibaku' menjalani profesi ini, maka kenikmatan dunia sudah pasti ada di tangan. Tapi mereka akan membayar mahal kenikmatan dunia itu, yakni dengan perasaan kering kerontang dan kehampaan di lubuk hati yang paling dalam. Percayalah itu!

*Hasil pengamatanku selama 6 tahun hidup di Jepang*

9 comments:

Ophi Nurwicaksono said...

Nivauuuu tulisannya kecil sekali bawah2nya euyy...

pengen baca...heuheuheu..

Anonymous said...

Teh Opi..infonya bagus banget. Jadi nambah pengetahuan. Sambil manggut2..ooh..jadi gitu toh. Jadi jelas teh. ^_^. Salam kangen dari Tokyo.

-wahyu- (mantan penghuni kyoto juga)

Anonymous said...

jadi jelas nih,biasanya hanya duga2x aja kalo lagi liat diTV,maklum nihonggonya belepotan.

Dina F. Nugroho said...

Mbak Novi, bagus deh review ttg kehidupan kelam masyarakat Jepang ini. Apalagi mengingat nulisnya hari2 terakhir sebelum Alma-chan lahir, padahal mustinya sibuk luar biasa, ya nggak sih? Salut!

Dina F. Nugroho said...

Mbak Novi, bagus deh review ttg kehidupan kelam masyarakat Jepang ini. Apalagi mengingat nulisnya hari2 terakhir sebelum Alma-chan lahir, padahal mustinya sibuk luar biasa, ya nggak sih? Salut!

bestfriend said...

Mbak Dina..makasih ya komentarnya.
Kebetulan ada sahabat baru di Surabaya yang request ke saya nulis tentang tema ini. Karena semuanya adalah pengalaman sendiri, jadi gampang kok..tinggal ketak ketik aja..sesekali di perbaiki. Semoga berguna ya..

Mbak Lela...
nagih yang itu yaa?..hehhe..boleh aja...semoga ada jalan ya...heheh

Anonymous said...

terima kasih Opi sensei, benar2 tulisan bermanfaat. tetpa semangat nulis ya walau repot dengan dede Alma.

Anonymous said...

Bu Opi, makasih kunjungan ke blognya (tp masih kalah nih desainnya)...maklum mendokusai.
Setelah baca kisah menarik ttg Jepang di blognya Opi, gimana kalo gabung milis di Japan Foundation-Jakarta? Daftar dan log in yaaaa...kita ramaikan milis tsb. http://www.jpf.or.id/

-emhas-
alias si Hasan tea (udah masuk member milis JF 6 bln)

Anonymous said...

Makasih infonya, sekalian berguna untuk kerja tugas, juga nambah pengetahuanQ,,,
So great!
Tapi yang paling mencegangkan itu kehidupan Jepang sangat amat rusak! aQ perna dengar ada reality show yang bahkan mengetes sepasang suami istri yang mata suaminya ditutup dan mencari istrinya diantara beberapa wanita lain, meanwhile si suami bisa melakukan "apapun" pada semua wanita yang ada disana.