Wednesday, October 25, 2006

Cerber: Pagar hati dan raga (part 1...)


Dari Surat Al-Ahzab Ayat 59:Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnyake seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untukdikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampunlagi Maha Penyayang.

"Apa bedanya kamu dan dia". Pertanyaan ini selalu muncul dari orang Jepangkalau melihat aku dan sahabatku-Gita-yang berjilbab. Aku hanya tercenung, bingung mencari jawaban yang tepat. Selama 4 tahun aku menetap di negeri sakura ini, selalusaja pertanyaan itu timbul tenggelam. Mengombang-ambingkan hatiku, membuatku galau.

"Kalau Novi -san itu hatinya belum baik, kalau saya sudah".Kata-kata ini tercetus 10 tahun yang lalu dari rekan kerjaku-mbak Wati. Dia lontarkan kata-kata ini dalam bahasa Jepang yang tertatihketika suatu hari atasanku bertanya "apa bedanya Novi-san dan kamu". Penjelasan mbak Wati ini membuatku geram sekali.Dia berjilbab, sedangkan aku tidak. Aku belum berjilbab sama dengan hatiku belum baik???.Tega sekali dia berkata begitu. Tapi aku kembali tercenung,tidak menemukan kata-kata balasan yang baik untuk itu.
Dua hal ini selalu membuatku berfikir keras. Kejadian 10 tahunlalu membuatku berusaha menemukan jawaban yang baik. Semacam pencarian diri.......apa benar aku ini belum tergolong muslimahyang tidak baik?
Aku memutuskan berjilbab ketika kehidupanku di Jepang memasukitahun ke 5,dan kala usiaku beranjak ke angka 28 tahun. Tepatnya tahun 2001. Selama 4 tahun sebelumnya kehidupanku di negeri ini aman-aman saja. Kehidupanku hanya terfokus untuk 2 hal besar, yakni kuliah dan bekerja paruh waktu untuk menghidupi diriku dan membiayai perkuliahanku. Kemampuan bahasa Jepangku pun sangat-sangat memuaskan. Aku mampu lebur ke dalam masyarakat Jepang. Kenalanku di Jepang sangat banyak. Aktifitasku pun tidak kalah banyak dengan orang Jepang yang terkenal work-aholic. Tidurku sehari cuma 4 jam. Selebihnya kuliah, bekerja, kuliah, bekerja, bersosialisasi. Begitu seterusnya.

Sampai suatu ketika aku menemukan bahwa hidupku begitu gersang. Betapa 'garing'nya kehidupan di Jepang ini. Garing tapi tidak gurih, seperti tempe goreng yang gampang kita temui di tanah air. Sekelilingku sangat-sangat menerimaku sebagai bagian dari mereka. Mereka rajin memuji kemampuan adaptasiku di Jepang.Aku dipanggil kesana-sini untuk menerangkan tentang Indonesia, atau sebaliknyaaku diundang untuk mengenal kebudayaan Jepang yang sangat mereka bangga-banggakan. Semua bilang, semua memuji akan kecerdasanku meleburkan diri ke dalam kehidupan masyarakat Jepang. Sampai-sampai aku bekerja untuk Pemda Kyoto di unit Hubungan Internasioanl. Tapi kenapa aku malah merasa gersang?, kenapa aku merasa garing?.

Aku bertanya kepada Allah swt suatu malam. Aku menangis. Aku merasa hatiku hampa. Sebenarnya ibadahku sehari-hari tidak jelek. Tidak pernah aku tinggalkan ibadah fardhu. Ibadah sunnah, mengaji ku pun lancar.Padahal kalo di Indonesia, ada-ada saja alasanku untuk mengelos dari kewajiban-kewajibanitu. Padahal di Jepang ini tidak pernah kudengar suara azan, tidak pernah kutemui wanita-wanita berjilbab, bahkan aku terbiasa dengan teman-teman pria sebangsaku yang terbiasa meninggalkan kebiasaan sholat jumat karena alasan sibuk. Fenomena yang berbedadengan kondisi di tanah air. Mesjid bertebaran, azan selalu berkumandang, barisan laki-lakiyang pergi dan pulang dari sholat jumat, wanita-wanita berkerudung, anak-anak pergi mengaji.Ya Allah apa yang kurang dalam diri ini????. Berilah aku petunjuk. Mengapa hatiku selalumenjerit tidak senang.

Berbulan-bulan setelah aku menjerit kepada Allah swt tentang kondisi jiwaku. Allah swt mulai menunjukkan kepadaku jawabannya. Selama berbulan-bulan aku dihadapkan pada pertanyaan: "Apa yang membedakan kamu dan dia"?. "Kalian sama-sama Islam, tapi dia menutup kepalanyasedangkan kamu tidak". "Dia berpakaian serba longgar, tapi body-linemu selalu saja nampak"."Sepertinya islam itu tidak menentu yaaa....". Itu kata-kata yang selalu dipertanyakan oleh orang-orang Jepang di sekelilingku. Menusuk jantungku, membuatku mati rasa...membuatku sedih terhadap kenyataan ini.

Orang Jepang itu tidak pernah plin plan. Mereka biasa mengikuti rule yang sama untuk semua orang. Pengemudi mobil harus tau aturan lalu lintas,tapi penyebrang jalan pun harus mengikuti aturan lampu lalu lintas yang jelas. Sampai pada masalah etiket di kantor, bawahan dan atasan, senior dan junior, semuanya jelas.Mau naik elevator aja ada aturan posisi atasan dan bawahan itu sebaiknya berdiri di mana.Mau tuker tukeran kartu nama aja mesti tau posisi yang sopan. Duduk didalam taksi pun harus tau atasan dimana, bawahan di mana,senior mu dimana dan dirimu dimana. Semua terus berjalan bertahun-tahun, generasi ke generasi.Tidak ada yang mempertanyakan rule itu, karena dibuat praktis dan tidak berubah.Berkat rule yang konsisten ini, orang Jepang dikenal sebagai masyarakat yang disiplin.Patuh pada aturan. Tidak berusaha merubah peraturan yang ada. Kalau ada yang menyimpang dari aturan yang ada, maka dianggap aneh dan dikucilkan dari kelompoknya.

Kalau di jalanan dan kita bertabrakan dengan orang lain,maka antara si penabrak dan yangditabrak akan saling meminta maaf dan saling tarik ulur bahwa yang salah itu dirinya.Beda dengan di Indonesia, "mate-nye ditaruh di mana neng???".

Aku terus mencari jawaban yang baik atas kegelisahan diriku.
(berlanjut...)

No comments: