Aku ingat ketika berusia 18 tahun, kelas 3 SMA di kota Bandung. Kebetulan sedang libur sekolahan. Aku mencari kegiatan positif mengisi liburan yang panjangnya 30 hari. Kemudian pilihanku jatuh pada kegiatan mentoring agama yang diselenggarakan di Mesjid Salman, ITB. Setiap pagi jam 8 hingga jam 12 siang, kadang lebih,aku sudah ada di mesjid. Bersama kurang lebih 10 orang muslimah lain dalam satu grup, kami dibimbing oleh kakak mentor. Kami belajar mengaji, dan membahas hal-hal yang berkaitandengan agama Islam.
Suasana di mesjid ini begitu Islamy. Islamy dalam pemandangaku kala ituadalah para wanita memanjangkan jilbabnya, para pria hampir semuanya berpakaian 'koko'.Semua saling menjaga pandangan mata, tidak ada yang berdua-duaan. Bahkan ketika berbicara satu sama lain pun, tidak saling berpandangan.Beda sekali dengan kehidupan remaja umumnya, yang saling senggol tangan ketika bercanda,saling menatap penuh makna ketika bertukar bahasa. Sungguh terasa bedanya.
Di dalam dan di sekitar taman mesjid tampak banyak pemudi dan pemuda yang tampak tunduk memandang Al Quran sambil berkomat-kamit. Di sisi lain tampak grup-grupmentoring.
Aku sendiri dikala itu hanya menggunakan kerudung. Tidak berjilbab penuh. Pergi dan pulang dari mentoring, biasanya aku lepas. Adab berpakaianku pun biasa-biasa saja.Kadang-kadang pakai rok panjang, kadang-kadang pake celana kain atau jeans panjang.Kemeja pun selalu berlengan panjang.Setidaknya aku merasa aku tau bagaimana pantasnyamasuk ke dalam mesjid. Kondisi ini berlangsung hingga 10 hari pertama. Hari ke 11, aku mulaimerasa ada yang tidak nyaman dalam diriku. Aku selalu memperhatikan teman segrup dalam berpakaian.Dari 10 orang hanya 2 orang yang seperti aku. Selebihnya berpakaian longgar, dan berjilbab panjang.Aku mulai gelisah dengan pola berpakaianku. Di rumah aku bergegas membongkar koleksi bajuku.Siapa tau ada yang bisa dibuat lebih Islamy. Akhirnya berhasil juga aku membuat beberapa koleksibaru, baju muslimah lengkap dengan jilbabnya. Hanya saja ada suatu kebimbangan dalam diriku, yakniapakah aku sanggup berjilbab keluar rumah?. Sesuatu yang belum pernah kukerjakan. Aku sering melihat ibuku yang berjilbab. Tapi aku dan 2 saudariku tidak ada yang mengikuti ibu. Kami layaknya generasidengan pola berpakaian western. Tapi tidak sampai pada penampakan 'udel' dan 'tulang panggul'. Ayahku sangat cerewet soal pakaian....
Hari ke 12, aku coba juga menggunakan jilbab. Rasanya aneeeh sekali. Rasanya semua mata menatapku disepanjang perjalanan pergi dan pulang ke Salman.Padahal mungkin tidak ada yang peduli dengan ku. Toh aku bukan artis, apalagi orang terkenal.Tapi aku merasa jengah, dan tidak nyaman.
Kakak mentorku tersenyum lebar melihat perubahanku hari ke 12 itu.Mbak Nurul namanya. Sebenarnya pernah ada percakapan pribadi antara aku dengannya soal berjilbab.Dia bertanya, "mengapa belum berjilbab, Novi?". Aku hanya menjawab, "belum siap mbak"."Kalau ditunggu siap tidaknya maka kebanyakan tidak siapnya loh", begitu teori mbak Nurul. Aku hanya tersenyum, tidak tau harus membalas dengan teori apa. Yang pasti aku mulai senang dengan profil baruku, seorang muslimah berjilbab. Ada rasa segar mengalir seperti aliran air di tenggorokan yang sangat dahaga.
(berlanjut...)
No comments:
Post a Comment