Sejak 2 tahun yang lalu, setelah kembali menginjakkan kaki ke bumi Sakura ini aku tertarik mengamati perkembangan masyarakat Jepang. Ada beberapa hal yang kini sedang mendapat perhatian serius oleh seluruh lapisan masyarakat di sini. Seperti masalah bunuh-bunuhan antar anggota keluarga, intimidasi antar pelajar yang berakhir dengan bunuh diri atau dibunuh, raibnya catatan jumlah pensiun ratusan ribu penduduk Jepang, belum lagi masalah politik dan politikusnya yang semakin hari semakin kotor.
Jepang akan tenggelam kah?. Wallahu alam bishowab, tapi yang pasti bahwa Jepang kini mengalami kemunduran. Baik dari segi perekonomian, maupun kerusakan moril para penduduknya.
Dari sekian banyak masalah yang kini tengah disoroti, aku tertarik pada 2 masalah, yaitu:
1. Netto Cafe Nammin(g)...Net Cafe Imigrant
2. Nimpu-Jidou no Teate Mondai....Permasalahan Penanganan Ibu Hamil dan Bayi
Ulasannya begini:
1. Yang dimaksud dengan istilah di atas adalah, Imigran Net Cafe. Yakni, orang-orang yang nggak punya kerja tetap--or bukan pegawai tetap di sebuah instansi/perusahaan, hanya berpenghasilan per hari, tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk hidup layak, akhirnya memilih menghabiskan waktunya di ruang-ruang kafe internet.
Namanya saja kafe internet, berarti ada fasilitas komputer, jaringan internet, dan menjual makanan beserta minuman. Tapi yang lebih 'hebatnya' lagi, dengan biaya internet yang tidak mahal, para imigran 'aliran baru' ini bisa tidur bahkan mandi!. Mereka tinggal membayar lebih kepada counter. Untuk tidur mereka bisa menggunakan fasilitas ruang internet (per kamar), yang dilengkapi dengan kursi empuk (ala direktur di Indonesia) dan boleh meminjam selimut tipis. Ada fasilitas AC pula!. Sedangkan untuk mandi, mereka tinggal membeli seperangkat alat mandi sekali pakai.
Para imigran ini 100% warga negara Jepang. Berusia 20 -40 tahunan. Usia produktif untuk bekerja, tapi tidak punya kemampuan/keterampilan yang bisa dijual. Di salah satu saluran tv dijelaskan bahwa, mereka-mereka ini tidak punya tujuan jelas untuk hidup. Mungkin disebabkan ketika usia muda (SMP-24 tahun) masih sibuk luntang lantung. Ketika sadar dirinya tertinggal dengan teman sebaya yang sudah rapi berjas, menenteng tas kerja, mendapat bonus, loan mobil, mulai berfikir untuk menikah, bahkan sudah beranak pinak, barulah mereka 'ngeh' bahwa tidak punya apa-apa. Bahkan untuk menyewa apartemen murahan pun tidak punya uang.
Untuk kalangan usia 30-40 tahun, biasanya mereka tidak juga memiliki pekerjaan tetap. Sehingga untuk menghidupi diri mereka sendiri/keluarganya, mereka harus serius berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak, tetap dan bermasa depan baik.
Nah timbul pertanyaan: " untuk apa mereka berdiam, katakanlah nomaden dari rumah biasa ke internet kafe?". Ada banyak alasan, salah satu diantaranya:
1. Mereka sudah dewasa dan tidak tinggal lagi bersama orang tua.
2. Mereka memerlukan sarana murah seperti internet untuk browsing pekerjaan. Dari situs-situs kerja, mereka akan mengirimkan CV via internet tadi. Kemudian menunggu panggilan dari perusahaan yang mereka minati. Kebanyakan dari mereka tetap memilik HP, tetapi HP ini digunakan untuk menerima panggilan interview.
Sekitar tahun 2000, saat aku masih kuliah di kota Kyoto, sudah ada gejala 'lebih baik part-time' daripada 'kerja tetap' di kalangan anak muda Jepang. Sebagaimana kita ketahui, orang Jepang itu terkenal dengan sebutan 'work-aholic'. Pergi pagi, pulang tengah malam bahkan pagi hari. Tiap hari dikejar urusan pekerjaan yang menggunung, yang bikin nafas tersenggal-senggal. Belum lagi kesehatan badan terkuras karena kurang makan, kurang tidur, kurang istirahat, dan kurang mandi (huss ah...hihihi). Sedangkan bila bekerja sebagai part-timer/paruh waktu/arubato, maka waktu bekerja bisa disesuaikan dengan keinginan diri sendiri. Dapat gaji ya seadanya pun nggak apa, yang penting bisa dipakai untuk jajan, makan sehari itu. Pokoknya kesannya lazy banget gitu loh. Ternyata gejala itu jadi trend beneran, dah akhirnya hanya dalam waktu 7 tahun, muncullah generasi baru ini.
Sekarang ini, para part-timer berharap bisa mendapatkan pekerjaan tetap. Tapi sayang, secara umur mereka tidak lagi fresh, dan keterampilan mereka pun tidak punya.
Dalam angket yang diselenggarakan oleh Kementrian Tenaga Kerja, diketahui bahwa jumlah Netto Cafe Nammin(g) hingga Bulan Juli 2007 kurang lebih 5400 orang. 26 % dari keseluruhan data ternyata diisi oleh usia 20-30 tahun.
Netto Cafe People = satu langkah lagi sebelum menjadi kaum Homeless.....
No comments:
Post a Comment