Ini cerita bukan tentang aku cari jodoh loh!...
Tapi ada kaitannya dengan profesiku (selain sebagai ibu RT), yakni penterjemah.
"Pi, coba deh buka milis PPI Sapporo. "G" dan "P Indra" (nama-nama warga sinih) ngeposting iklan lowongan kerja sebagai penterjemah di Hokkaido Summit", kata suamiku suatu malam.
Nyang diajak ngobrol (=aku) lagi asyik nyiapin dinner untuk husbandku.
"Oya?".
"Iya, kebanyakan lowongan untuk penterjemah lapangan. Sehari jam kerjanya panjang, per jam 1500 yen. Kalo yang diposting P Indra khusus untuk student, tapi postingan G untuk umum tuh. Terutama yang punya kemampuan berbahasa Jepang dan Indonesia".
Aku senyum-senyum menanggapi uraian suami.
"Hehehe...kali ini nggak jodoh lagi deh kang".
"Loh kok nggak jodoh?".
"Kalo nggak salah summit kali ini diadakan mulai bulan Juli kan ya?"
"Iya deh, kalo nggak salah" kata suamiku. Dia mulai bisa menebak kemana arah pembicaraanku. "Eh, muri kah! (nggak mungkin ya)".
"Iya, si adek bisa brojol di tengah-tengah summit ntar...".
*********************************
Speak-speak about kesempatan seperti di atas, aku sering banget melewatkannya.
Speak-speak about kesempatan seperti di atas, aku sering banget melewatkannya.
Misalnya, waktu World Cup 2002 yang diselenggarakan di Jepang & Korea. Trus, Kyoto Water Summit (kalo nggak salah pertengahan 2003). Padahal aku ada di Jepang waktu itu dan berkesempatan besar menjadi penterjemah.
Sejak april 1999-maret 2004 aku terdaftar sebagai penterjemah di kantor wisata Kyoto City. Sehingga jauh-jauh hari panitia summit, dan juga world cup udah menghubungi aku via surat. Surat itu isinya tawaran sekaligsu aplikasi untuk mengajukan diri sebagai penterjemah. Berhubung keduanya big event, maka harus terencana serapih mungkin termasuk untuk field penterjemah. Berbagai macam jenis interpreter diperlukan untuk mengback-up event-event tersebut. Dan aku biasanya udah hafal sistem kerja mereka. Ini karena aku udah 5 tahun kerja sebagai interpreter lapangan di Kota Kyoto. Sesekali aku join dengan travel agent sebagai konduktor wisata untuk wisatawan mancanegara (khususnya yang datang dari Indonesia).
Alasan aku nggak bisa terlibat dalam tugas sebagai penterjemah di 2 big event itu adalah kuliah. Waktu itu udah M2 (magister) tingkat akhir. Apabila aku jadi nrima kerja untuk world cup, maka aku terikat kontrak 1 bulan penuh. Gajinya gede banget, dapat world cup kit dan tugasku keliling Jepang disesuaikan dengan lokasi pertandingan yang lapangan bolanya tersebar di berbagai kota. Tapi berhubung akan menghadapi masa krisis menulis thesis, kesempatan emas itu aku tolak.
"Iiih si teteh kok ditolak sih, kan sayang. Coba kalo teteh jadi ikut, kan di CV teteh nanti tertulis pengalaman sebagai penterjemah World Cup, keren kan" kata juniorku suatu kali.
Walah waktu itu mana kepikiran sampe situ. Wong di mataku udah berjibun buku-buku referensi yang harus digarap untuk mengisi thesisku nanti. Dulu prioritasku kan cuma kuliah. Pilihan yang sebenarnya pahit.
Sedangkan untuk Kyoto Water Summit, aku sedang ada di LN. Dalam rangka penelitian bersama prof & beberapa teman se lab. Padahal Kyoto Water Summit itu kan bagian dari lingkungan, ilmu andalanku.
Lucunya lagi, ketika mulai menetap di Sapporo (tahun pertama-2006), ada tawaran jadi penterjemah untuk event besar juga. Waktu itu aku nrima lowongan kerja dari pemda Sapporo (infonya dari sekre labnya akang). Isinya menjadi penterjemah untuk kegiatan pertukaran pemuda di bidang olahraga. Ketika wawancara di Pemda, aku jadi tau bahwa akan datang 20 pemuda Indonesia (usia SD-SMA) yang dipilih untuk mengikuti camp sepakbola, dibawah pelatih terkenal Mr. Oh.
Tapi yang susahnya:
1. Aku mesti nginap dalam satu ruangan dengan para peserta tadi. Semuanya laki-laki pula. Walaupun mereka usia muda, tapi kan aku wanita...rasanya di Indonesia nggak mungkin deh wanita tidur campur laki-laki, walaupun itu terhitung anak-anak. Sistem tidur ini mengikuti pola Jepang, yang emang biasa campur pelatihnya (nggak peduli cewek or cowok) dengan teenagernya.
2. Aku harus ada dilapangan. Berpanas-panas, kadang harus ikut lari sana lari sini. Nah di sini aku mundur karena setelah dihitung-hitung nanti usia kandunganku masuk 6 bulan. Bisa-bisa brojol di lapangan.
3. Berpakaian training pack lengan pendek dan short pants. Walah, ini jelas nggak mungkin. Minta keistimewaan jelas nggak dipenuhi.
Nah yang terakhir soal Hokkaido Summit ini pun nggak jodoh lagih. Bulan Juli itu usia kandunganku udah masuk 9 bulan. Jelas aja mana bisa ikutan, dan mana mau panitianya nrimo (kaliiii...........). Padahal event kali ini berkaitan dengan bidangku: ilmu lingkungan.......
No comments:
Post a Comment