Hari minggu adalah "family day" untuk keluarga kecil kami. Ada "rule" yang baru saja diputuskan secara sadar, bahwa seluruh anggota keluarga harus mencurahkan perhatian "just for us". Bukan untuk hal lain, bukan untuk orang lain. Mencoba membunuh ego pribadi atas ketertarikan terhadap hal-hal lain yang tidak ada urusannya dengan "refreshing" bersama anggota keluarga.
Bagiku hari ini sangat "special." Istimewa karena keinginan lama yang selalu tertahan untuk membawa putri kami- Alma ke kebun binatang, akhirnya terwujud juga. Lebih istimewa lagi karena ide ini tiba-tiba diajukan oleh akang, suamiku tercinta.
Sebenarnya sehari sebelum hari H, kondisi badanku sedang tidak menentu. Tapi begitu mendengar ajakannya, entah darimana muncul banyak enerji baru. Teringat bahwa hampir sudah sebulan ini tidak ada "kebersamaan" yang sebenarnya. Kebersamaan dalam arti penyatuan hati dan pikiran. Kesibukan suamiku begitu padat, bahkan sebulan terakhir jiwa dan raganya terbang hingga ke negeri lain, meninggalkan istri dan anak sementara di sini. Aku merasa tali kasih kami sempat merenggang, bukan karena tak cinta, tapi karena waktu dan jarak begitu lama memisahkan kami. Dan aku menuntutnya untuk meremake "pure family day" di hari minggu. Khusus di hari minggu, tidak menuntutnya di hari lain.
Sejak keluar rumah, si sulung kami sudah lengket dengan sang ayah. Tangan mungilnya terus menerus bergelayut di leher ayah tercinta. Jika tubuh ayahnya menghilang dari bola matanya yang bersemangat itu, maka dia akan berkata, "ayah? matte matte yo!" (ayah? tunggu, tunggu dong!)
Selama menghabiskan waktu di kebun binatang pun, sang ayah adalah yang utama bagi neneng kecil kami. Pemandangan yang membuatku luar biasa bahagia. Keadaan yang membuat suamiku berlega hati. Begitu banyak versi cerita yang pernah kami dengar dari seorang ayah yang lama berpisah dengan si buah hatinya. "Anakku nggak kenal ama aku, nih!" atau "Aku dipanggil 'Oom' oleh anakku sendiri." Ini yang suamiku takuti. Bahkan suamiku pun mewanti-wanti diriku untuk selalu memperlihatkan fotonya kepada buah hati kami, ketika selama berhari-hari dia harus meninggalkan kami ke luar kota/negeri.
Misi Family Day kami menurutku mencapai hasil yang baik. Menambah lembaran manis diari kehidupan kami sekeluarga. Tak hanya bagi ayah-anak, tapi juga bagiku pribadi.
Ketika jadwal hari minggu ini ditutup di sebuah restoran, begitu banyak curhat mengalir dari bibir suamiku. Dia berkata, "Akang kemarin mengirim email ke Prof. De Xi Liu." Prof ini seorang kenalan suamiku yang bekerja sebagai dosen di Pittsburg University, USA. Aku diam menyimak.
"Akang bilang ke si Prof, bahwa akang menyanggupi untuk mengirim tulisan berupa "review journal." Review journal ini direncanakan untuk dipublish di majalah Pharmacy-Amerika.
"Wah, itu berita baik, Kang. Semoga diterima ya!" sambutku dengan semangat.
"Sebenarnya ada satu lagi yang sedang akang kerjakan, yakni menulis original article hasil penelitian akang. Ini untuk diterbitkan di sebuah Jurnal Farmasi Internasional."
"Kedua jenis jurnal ini memiliki rangking tinggi,"begitu tambahan suamiku. Yang dimaksudnya 'rangking tinggi' adalah tingkat kesulitan untuk menembus jurnal itu. Jadi suamiku ini sebenarnya sedang under-pressure.
Aku tak punya kata-kata yang bijak untuk menyemangatinya. Hanya sentuhan ke jemarinya, seraya berkata," daijoubu?" (akang tak apa-apa kah?)
Suamiku berkata sambil tersenyum, " Akang merasa terpacu karena melihat Opi yang begitu berusaha keras berlatih menulis." Aku terperangah, sedikit jengah, merona jingga, salah tingkah!
"Ah, akang..." cuma itu yang bisa terucap. Sambil terkekeh suamiku melanjutkan perkataannya,
" Akang melihat Opi hampir berhari-hari mengurangi jam tidur demi menyelesaikan naskah-naskah cerpen untuk Proyek Antologi Ramadan dan Proyek Antologi Ibu. Padahal tugas Opi di rumah pun banyak. Pagi-pagi Opi dah harus bangun untuk memasak sarapan, menyiapkan bento (bekal nasi) untuk akang. Sesudah itu seharian bermain dengan Alma. Di situ akang melihat ada semangat luar biasa yang harus akang tiru."
Mendengar penuturannya yang begitu panjang, membuat tanganku mengeluarkan recehan yen. Lalu menyerahkannya kepada suamiku. Dia tertawa terbahak! Abisnya, aku kan tengsin dipuja-puji oleh suami sendiri.
Inilah makna indah yang berhasil terajut di antara kami. Menurutku, pasutri itu perlu menyediakan waktu khusus untuk saling memandang pasangannya. Menyampaikan hal-hal yang terasa di hati, namun kadang tak terungkap karena padatnya tugas keseharian. Dengan satu hari di antara seminggu saja bisa membuat bumbu pernikahan pun semakin kental, enak dan sedap untuk disantap. Itu yang aku yakini dan ingin terus aku pertahankan.